Selasa, 01 Februari 2011

Peziarahanku bersama Dia

(oleh Fr. Emanuel dalam rangka 40 tahun hidup membiara)
Empat puluh tahun sudah aku berjalan bersama dengan Dia dalam peziarahan hidupku sebagai seorang biarawan dalam Tarekat Bunda Hati Kudus. Aku akan dan terus berjalan bersama dengan Dia menuju ke tapal batas. Dan seluruh lika- liku hidupku akan menjadi suatu kenangan yang sangat bernilai setidaknya untuk pribadiku sendiri.
Dalam menjalani tahun-tahun peziarahanku, aku terkenang akan peristiwa empat puluh dua tahun yang lalu. Suatu sore yang mendung pada tanggal 6 Januari 1969 aku menghantar saudariku untuk masuk SPG Putri di Waibalun yang dikelolah oleh para Suster CIJ. Ketika kembali ke Larantuka tanpa sengaja aku mampir ke Biara BHK, St. Gabriel – Podor- Larantuka. Aku menekan bel biara. Kemudiam muncul seorang Frater. Dengan sopan dia menanyakan keperluanku. Dan aku menjawab,: Aku mau bertemu dengan Pimpinan Biara.” Aku disuruh menunggu.
Kemudian muncullah seorang Frater berkebangsaan Belanda yang kemudian kuketahui sebagai Fr. M. Wilfried van Engen yang menjabat Pimpinan Biara saat itu. Kami berbicara sejenak dan beliau menanyakan maksud kedatanganku. Tanpa berpikir panjang aku menjawab, "Aku mau menjadi Frater Pengajar.” Beliau bertanya lagi.” Apa tujuanmu menjadi seorang Frater BHK?” Aku kaget setengah mati karena mendapat pertanyaan yang yang tak kusangka- sangka itu. Akupun menjawab .: Aku tidak tahu.” Beliau berkomentar ,: Aneh pemuda ini. Mau jadi biarawan tapi tidak tahu apa tujuannya.” Beliau melanjutkan “ Tunggu saja, kalau diterima, pasti ada surat panggilan untuk masuk biara.”
Tiga minggu kemudian aku menerima surat panggilan dari Podor- Larantuka yang isinya aku diterima sebagai calon Frater BHK. Banyak kawan yang komentar :” Paling-paling hanya bertahan selam satu atau dua bulan saja.” Aku hanya tertawa mendengarnya. Namanya saja gurauan kawan- kawan sepermainan.
Tanggal 28 Februari 1969 aku resmi menjadi seorang calon Frater. Masa Postulanku belangsung selama dua tahun. Pada tahun ke 2 postulat aku mendapat tugas belajar di SPG selama satu tahun karena ijazah yang kumiliki saat itu adalah ijazah SMA.
Tanggal 16 Januari 1971 aku menerima busana biara bersama ke dua kawan yang lain: Fr. Hubertus BHK, dan Fr. Thomas BHK. Aku sendiri memilih nama Fr. Emmanuel. Ke dua kawanku ini akhirnya meninggalkan biara. Tuhan mempunyai rencana lain terhadap mereka.
Tanggal 8 Desember 1972 aku mengucapkan kaul kebiaraan untuk pertama kalinya. Desember 1973 aku menerima tugas perutusan untuk berkarya di Palembang. Dari Malang aku harus naik bis . Senja itu aku dihantar Frater Amatus ke Agen Bis di Kayutangan- Malang. Aku harus berkendaraan bis dari Jawa Timur menuju Merak di ujung Barat pulau Jawa. Kemudian menyeberang dengan kapal penyeberangan KRAKATAU ke Panjang- Sumatera. Dari sana aku menumpang K. Api menuju Kertapati – Palembang. Dalam perjalananku memuju Palembang selalu ada orang yang baik hati yang rela memberikan pertolongan sehingga aku tiba di kota Palembang dengan selamat. Sungguh luar-biasa. Dia memang setia pada janji-Nya. Dia tak akan meninggalkan orang pilihan-Nya sendirian.
Di komunitas ini, aku sungguh- sungguh dibentuk oleh saudara-saudaraku terlebih para Frater seniorku. Mereka adalah : Fr. M.Ireneus Wentholt, Fr.M. Yustinus van Bavel, Fr. Benedictus van Luenen, dan Fr. Fidelis Poerwanto. Masing-masing mempunyai caranya yang unik dalam membentuk pribadiku terlebih dalam hal disiplin diri. Hal yang paling berkesan dalam hidup berkomunitas di komunitas ini adalah semangat persaudaraan dan disiplin terutama dalam hal ketepatan waktu. Terlambat sedikit saja, pintu kamar sudah diketuk, baik dengan cara yang halus maupun dengan cara yang menurut pendapat pribadiku kurang manusiawi. Hal lain yang juga memberikan kesan istimewa adalah budaya membaca dan mendengarkan. Kami para anggota komunitas dilatih untuk jujur dengan diri sendiri. Kita diberikan kebebasan untuk mengemukakan pendapat baik hal yang menyenangkan maupun yang tidak menyenangkan dengan cara yang baik dan sopan.
Setelah tujuh tahun berkarya di Palembang, aku kembali ke Malang untuk melanjutkan Pendidikan di Perguruan Tinggi. Empat setengah tahun aku bergelut dengan tugas perkuliahan di IKIP NEGERI- Malang. Setelah menyelesaikan studi aku mulai berkarya di komunitas-komunitas di NTT. Tugas yang kuembanpun bervariasi namun yang dominan adalah menjadi guru di sekolah mulai dari tingkat SD sampai dengan tingkat SMA.
Akupun pernah berminat untuk menjadi misionaris. Karena itu bertiga kami: Fr.Disamas BHK, Fr. Maxi BHK dan aku, Fr. Emmanuel pernah bermagang di Lodwar – Kenya selama tiga bulan. Namun rupanya aku bukan seorang misionaris sejati. Aku kembali ke Indonesia dan lagi-lagi NTT merupakan lahan yang handal untukku berkarya.
Sebelum ke Negara tujuan: Kenya, Negara Belanda menjadi transit untuk kami bertiga. Di sana di Negara Kincir Angin ini kami berkenalan dengan para Frater Belanda. Ada kebahagian tersendiri ketika berkenalan dengan para frater di sana, terlebih ketika bertemu dengan para Frater yang pernah berkarya di Indonesia. Maka ramailah kami berbicara dalam Bahasa Indonesia. Para Frater ini sudah tua dan sakit-sakitan. Namun ada hal yang indah yang kutemukan di sana. Persuadaraan mereka sangat tinggi. Dalam kondisi yang terbatas karena umur atau karena alasan lain, mereka masih memperhatikan konfraternya dengan memberikan bantuan sesuai dengan kemampuan yang mereka miliki. Sungguh mengharukan.
Jumlah para Frater di negeri inipun semakin berkurang karena kematian yang datang menjemput. Gedung-gedung komunitas yang megah dan bersejarah satu-persatu harus dijual karena tak berpenghuni lagi.Sayang. Harta Warisan para leluhur harus hilang satu persatu. Suatu saat nanti para Frater Generasi Penerus harus menerima kenyataan bahwa semuanya yang ada di tanah leluhur Tarekat ini akan berakhir dan hanya tinggal kenangan.
Bersama Fr.Superior: Fr.Wilfried kami bertiga melanjutkan perjalanan menuju Kenya. Suatu Negara yang sangat asing bagiku. Perjalanan ke Lodwar berjalan dengan lancar. Kami tiba di suatu siang yang terik. Di mana-mana terlihat kemiskinan. Sebagian besar panduduk berpakaian sangat sederhana. Untuk makan sehari-hari mereka harus menunggu uluran tangan PBB.
Di sana di Lodwar hanya ada dua Frater : Frater Hans dan Frater Philip. Sayangnya Frater Philip meninggal sebelum kami sempat berkenalan dengan beliau. “ Selamat Jalan Pahlawanku.”
Kami mulai berkarya. Di sana ada banyak hal yang membuatku shock. Maklumlah kebudayaan yang sangat berbeda. Hal lain yang mengganggu pribadiku adalah kesulitan dalam menyesuaikan diri. Sementara itu kerinduan untuk kembali ke Indonesia sangat tinggi sehingga terkadang menyebab aku menjadi sakit. Aku kembali keTanah Airku, dan berkarya di NTT yang tercinta ini.
Karya dari Para Frater Pendahulu kita di Lodwar amat mulia. Sebut saja Fr. Hans dengan Anak-anak Jalanannya. Beliau sungguh-sungguh mengabdikan dirinya untuk memanusiakan anak-anak terlantar ini. Syukurlah karya mereka dilanjutkan oleh beberapa Frater Indonesia. Menurut hematku, karya di Kenya akan lebih berhasil jika dibuka kesempatan bagi para pemuda Kenya untuk menggabungkan diri dalam Tarekat kita. Semoga pada waktu mendatang ada Frater Kenya yang menangani karya di tanah airnya sendiri.
Kisah ziarah nan panjang bersama dengan Diapun mengalami pasang-surut. Ada saat aku begitu bersemangat untuk mengikuti Dia, namun sering aku mengalami kelesuan dalam ziarah ini, sehingga timbul keinginan untuk meninggalkan Dia. Akupun sering tergoda untuk mengikuti gerak arus modernisasi serta ingin menjadi manusia instant. Syukurlah di saat aku mengalami kelesuan selalu timbul harapan dan semangat yang baru untuk terus berjuang. Dia tak pernah meninggalkan orang pilihan-Nya. Walaupun aku sering tak setia dan mengingkari apa yang telah aku ikrarkan kepada-Nya. Dia tetap setia dan tak pernah mengingkari janji-Nya karena Dia tak pernah mengingkari diri-Nya sendiri.
Di saat aku mengalami kebahagiaan terlebih ketika aku merayakan panca windu hidup membiaraku, di dalam hati ini hanya ada rasa syukur, rasa bahagia karena aku telah bersedia menjawab panggilan-Nya dan menggabungkan diri dalam Tarekat BUNDA HATI KUDUS.Akupun tak pernah melupakan peranan Ibu Maria dan mencintai dia dalam menjalani hidup ini.Aku memang mencintai Sang Ibu. Semuanya ini tertanam dalam sanubari sejak masa kecilku di mana setiap malam kami seluruh anggota keluarga mendaraskan doa Tuhan dan Salam Maria, serta litani Santa Maria, dan melantunkan lagu-lagu Maria dari Yubilate. Orang tuaku mempunyai peranan yang penting dalam hidupku. Kebiasaan mendoakan Rosario sampai saat ini terus aku jalankan.
Kini ke dua orang tua serta beberapa saudara-saudariku telah kembali kepangkuan-Nya. Semoga mereka berbahagia di sana di dalam Kerajaan-Nya dan ikut serta bersama putera dan saudara mereka yang kini merayakan Panca Windu Hidup Membiaranya. Semoga!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar