Rabu, 22 September 2010

KEMBALI KEPADA TRADISI APOSTOLIK

oleh Pendeta Alex Jones
dari Gereja Kristen Maranatha, Detroit, Michigan

(Hak Cipta, 2000, Alex Jones.)

Betapa besar dan indahnya karya Tuhan kita; betapa dalam dan tak terselidiki rencana-rencana-Nya. Paulus telah mengatakannya dengan tepat:

O alangkah dalamnya kekayaan, hikmat dan pengetahuan Allah! Sungguh tak terselidiki keputusan-keputusan-Nya dan sungguh tak terselami jalan-jalan-Nya.(Roman 11:33)

Penemuan terbesar dalam hidup saya terjadi pada suatu malam musim panas yang hangat, di bulan Agustus 1958 ketika Roh Kudus membuka pintu-pintu kehidupan dan pengetahuan tentang Allah kepada hatiku. Dari pengalaman religius di tahun 1958 ini sampai sekarang suatu kehausan yang terus menerus telah meliputi hati saya untuk mengetahui lebih jauh dan belajar lebih jauh tentang Tuhan Allah yang menakjubkan ini dan Gereja-Nya yang mulia. Siapakah Dia? Bagaimana rupa-Nya? Apa yang Dia inginkan? Apa yang menyenangkan dan tidak menyenangkan hati-Nya? Bagaimana saya menjadi bagian dari rencana-Nya yang besar? Apa yang telah dilakukan-Nya bagi orang lain? Segala pertanyaan ini memenuhi hati saya pada malam bulan Agustus tersebut dan masih belum hilang perasaan yang ditimbulkannya.


Selama empat puluh tahun terakhir saya berada dalam peziarahan untuk mengetahui seakurat mungkin akan maksud-maksud dan rencana-rencana Tuhan Allah yang menakjubkan ini. Selain daripada studi di universitas dan gelar sarjana yang didapat dan karya paska-sarjana dalam bidang Pendidikan, saya telah membaca banyak buku-buku, menghadiri berbagai kebaktian di banyak gereja, berdialog dengan umat Kristen dari berbagai latar belakang, berdebat dengan berbagai sekte-sekte, menghadiri akademi Alkitab untuk beberapa lama, dan bereksperimen dengan berbagai variasi dari latar belakang Protestan yang semakin saya cintai. Saya telah berpegang pada teologi Arminian maupun Calvinis, menerima dan lantas menolak eskatologi Premilenialisme, mempraktekkan berbagai macam bentuk kebaktian religius, berkhotbah tentang kesucian dan pengudusan, dan secara umum menikmati pengalaman-pengalaman spiritual tradisi Pantekosta. Akan tetapi dibawah semua pencarian ini, praktek-praktek ini, aktivitas-aktivitas ini ada dorongan kuat untuk "menggali" lebih dalam, bertanya-tanya, dan menemukan keinginan dan hikmat Allah.

Saya menemukan hikmat itu dengan secara kebetulan. Yaitu selama persiapan bagi kelas studi Alkitab hari Rabu malam menyangkut pasal 2 dari 1 Timotius ketika saya menemukan "harta karun yang terpendam" ini. Mengejar informasi untuk merekonstruksi tata ibadat abad pertama, saya membaca surat-surat dari para Bapa Apostolik, dan disanalah, diantara tulisan para penulis Kristen perdana, saya menemukan kebenaran yang lebih jelas dari Kristus dan Gereja-Nya.

Akhirnya, setelah sekian tahun mencari saya menemukan kebenaran Kristus dan Gereja-Nya: Gereja-Nya memiliki liturgi, punya hirarki, dan Gereja-Nya adalah Katolik. Saya mendapatkan bahwa ketika Gereja tumbuh, ia menyimpan catatan tertulis menyangkut urut-urutan suksesi sampai ke para Rasul sendiri. Klaim yang dibuat Protestan bahwa ada "kelompok-kelompok studi Alkitab yang tersebar di Gereja perdana", semata-mata fantasi belaka. Kelompok-kelompok seperti ini sungguh-sungguh tidak ada. Gereja Kristen dulu dan selalu bersatu, apostolik, dan katolik. Bangkitnya bidaah (penyelewengan ajaran Gereja) memaksa Gereja untuk berpegang teguh pada apa yang mereka terima dari para Rasul. Semua gereja-gereja dari Gaul di Perancis sampai India memiliki inti iman dan metode ibadat yang serupa dan bisa dilacak balik sampai ke para Rasul.

Gereja abad kedua memiliki liturgi yang terorganisasi yang meliputi pembacaan Alkitab, mazmur, litani-litani, responsorial, dan perayaan Ekaristi yang sistematis. Pusat dari ibadat Kristen bukanlah pemakaian karunia Roh Kudus, yang memang berlimpah-ruah pada masa itu, dan juga bukan khotbah-khotbah yang hebat dari para penginjil. Pusat dari ibadat Kristen dulu dan selalu adalah kurban Tubuh dan Darah Kristus, yaitu Ekaristi. Bagi Gereja perdana Ekaristi tidak hanya sebuah simbol spiritual Kristus, Ekaristi adalah Kristus sendiri yang direpresentasikan kepada Bapa pada setiap perayaan.

Tidak hanya struktur Gereja yang berhirarki maupun ibadat yang berpusat pada Ekaristi, berbeda daripada apa yang saya bayangkan, begitu pula ajaran-ajarannya. Manusia tidak diselamatkan dengan menerima Kristus sebagai Penyelamat mereka, tetapi melalui pembenaman dalam air pembaptisan yang melahirkan kembali. Manusia tidak diselamatkan oleh iman saja, tetapi dengan ketaatan pada iman - suatu iman yang dinyatakan dengan perbuatan-perbuatan baik dan hidup suci. Umat Kristen tidak mencari berkat/karunia, melainkan dengan rela mengorbankan hidup mereka bagi Tuhan. Disanalah, di tengah-tengah kesaksian para Bapa Apostolik, bahwa saya melihat inti yang sebenarnya dari spiritualisme Kristen. Bukan iman Kristen yang sudah di-Amerikanisasi dengan rahmat kemakmuran dan dan materialisme seperti yang tampak sekarang ini, bukan juga iman Pantekosta dengan kegembiraan dan kesukacitaan emosional yang terus-menerus. Spiritualisme Kristen adalah iman dari dalam hati yang penuh devosi yang mendalam yang memanggil untuk berkurban-diri, menebus dosa, menderita dan hidup saleh.

Dengan pemahaman yang diperluas dari perkembangan kepercayaan Kristen, muncul pemahaman yang lebih jelas tentang Alkitab dan tradisi yang paling kita pegang erat-erat, sola scriptura. Teologi ini mengajarkan bahwa segala yang perlu kita ketahui tentang wahyu Kristus dan Gereja-Nya tercakup dalam halaman-halaman Alkitab. Oleh karena itu, Alkitab adalah otoritas dalam segala hal menyangkut iman dan moral. Kita telah merangkum ajaran ini dalam kata-kata berikut: "kalau tidak ada di Alkitab saya tidak percaya." Dilihat sekilas hal ini kedengarannya bagus dan benar - "jika kita tidak bisa menemukannya di Alkitab, kita tolak, karena tidak benar." Tetapi masalahnya dengan pendekatan ini adalah setiap dari 28000 gereja-gereja dan denominasi-denominasi mengaku bahwa mereka melandaskan pada satu Alkitab yang sama! Masing-masing dari mereka mengaku memiliki penafsiran Alkitab yang "jujur dan benar". Dari gereja Katolik, Lutheran, Anglikan, Metodis, Baptis, Pantekosta sampai pada Mormon dan Saksi Jehovah, masing-masing menafsirkan Alkitab secara berbeda. Kita telah terbiasa dengan berbagai interpretasi ini sehingga kita menyatakan bahwa Alkitab "tidak jelas" dalam banyak paragraf sehinggak kita memperbolehkan pendapat dan interpretasi yang berbeda-beda.

Ambil sebagai contohnya: pernyataan Yesus kepada Nikodemus bahwa dia harus dilahirkan melalui air dan Roh (Yohanes 3:5). Ada setidaknya tiga macam interpretasi yang ditawarkan oleh umat Kristen:

1. Air ketuban (kelahiran pertama) dan bersemayamnya Roh Kudus (kelahiran kedua)
2. Firman Allah dan pembaptisan Roh Kudus
3. Air Pembaptisan dan bersemayamnya Roh Kudus

Pernyataan Yesus jelas hanya memiliki satu arti! Meskipun tidak dinyatakan dalam Injil Yohanes, saya yakin Yesus menjelaskan apa yang dimaksud-Nya kepada Nikodemus. Akan tetapi bagaimana hal ini bisa menolong kita? Interpretasi yang mana yang benar? Tidak bisa ketiga-tiganya benar! Akan tetapi umat Kristen membangun imannya dari salah satu dari ketiga interpretasi yang tertera diatas.

Tidak peduli betapa pintarnya atau telitinya para pelajar Alkitab; bahwa pakar Alkitab yang memiliki segala gelar akademis, berbeda sekali satu dengan yang lainnya terhadap banyak masalah doktrin-doktrin yang penting! Penelitian dan riset yang banyak sekalipun tidak bisa membawa konsensus akan apa yang dikatakan oleh Alkitab.

Satu lagi problem lainnya dengan tradisi "Alkitab saja" adalah kepercayaan bahwa studi yang rajin ditambah dengan penerangan oleh Roh Kudus (Yohanes 14:25; 16:13) akan menunjukkan kebenaran Alkitab bagi mereka yang mendengarkan-Nya. Tentunya studi Alkitab dan penerangan Roh Kudus penting bagi pertumbuhan spiritual pribadi dan membuka makna spiritual Alkitab. Tetapi coba anda katakan kepada 28000 gereja-gereja yang berbeda-beda dan saling berselisih bahwa 28000 pendapat yang berbeda terhadap Alkitab adalah petunjuk bahwa tafsiran mereka tidak tepat atau tidak atas dorongan Roh Kudus. Jelas bahwa Roh Kudus tidak memiliki 28000 interpretasi firman Allah.

Sayangnya, tradisi yang tampak bagus tapi tidak berdasar ini telah membatasi kita pada perspektif yang sempit terhadap Gereja Kristen. Tidak hanya membatasi titik-pandang Kristen terhadap perkembangan gereja, doktrin-doktrinnya, para kudusnya, dan sejarahnya, tetapi juga tidak menceritakan kisah yang sepenuhnya mengenai Gereja Kristen dan praktek-prakteknya.

Contohnya, bagaimana tepatnya para murid melakukan perayaan ibadat pada awalnya? Bagaimana ibadat Kristen berevolusi? Apa yang Yesus ajarkan kepada para murid-Nya pada perjalanan ke Emaus? (Lukas 24:45). Apa yang Dia ajarkan kepada para Rasul tentang kerajaan Allah selama masa 40 hari sebelum kenaikan-Nya ke surga? (Kisah 1:3). Bagaimana cara para Rasul membaptis calon umat Kristen? Di bagian mana di dunia masing-masing Rasul menyebarkan Kabar Gembira? Apa yang terjadi pada Petrus setelah Kisah Para Rasul 12:17 dan pada Paulus setelah Kisah Para Rasul 28:31? Apa yang terjadi pada Maria, Bunda Tuhan Yesus? Alkitab tidak mengatakan. Bagaimana Gereja berevolusi setelah kematian Rasul yang terakhir? Karena Roh Kudus diberikan kepada Gereja untuk membimbingnya kepada kebenaran, bagaimana peran-Nya tampak berabad-abad setelah para Rasul? Ke arah mana Dia membimbing Gereja dalam aplikasi wahyu Kristen? Siapakah orang-orang besar yang dibangkitkan-Nya untuk membimbing Gereja? Bagaimana konsili-konsili Gereja berurusan dengan aplikasi praktis dari wahyu Kristen bagi kebutuhan pada masa itu?

Gereja memiliki kehidupan spiritual yang kaya dan hidup, yang tidak tertangkap seluruhnya dalam Perjanjian Baru. Ada banyak martir, banyak orang kudus, penginjilan yang hebat, dan teladan yang bagus dari penyangkalan-diri dan pengorbanan dalam Gereja perdana yang tidak kita baca di Alkitab. Gereja dengan tradisi yang bermacam-macam di Antiokia muncul sebagai kekuatan pendorong dalam Kristianitas. Santo-santo yang besar seperti Polycarpus, Irenaeus, Ignatius, Justin Martir, Antonius, Basil, dan dua Gregorius, tidak dikenal oleh umumnya para pembaca Protestan. Pemikir-pemikir besar Gereja: Origen, Tertulian, Santo Cyprianus, Santo Agustinus, Santo Athanasius, Gregorius dari Nyssa, sekedar beberapa diantaranya, sama sekali diabaikan oleh sebagian besar Kristen Protestan. Akan tetapi orang-orang inilah yang menentang berbagai bidaah dan kaum pendukungnya, dan membentuk pemikiran Kristen, dan memformulasikan doktrin-doktrin Perjanjian Baru dan teologi yang kita percaya sebagai Protestan sekarang ini. Kita harus ingat bahwa Perjanjian Baru meliputi banyak surat-surat yang terbatas lingkup masalahnya dalam gereja-gereja lokal. Sayangnya, kita hanya mendapatkan kilasan kehidupan gereja melalui halaman-halaman kitab Perjanjian Baru.

Coba pikirkan hal ini. Kalau kita membatasi diri kita terhadap apa yang tertulis dalam Alkitab, sama saja halnya dengan membatasi diri kita pada undang-undang dasar negara, tetapi mengabaikan para bapa bangsa pendirinya, cikal bakal yang mendahuluinya dan sejarah terbentuknya negara kita. Boleh jadi kita punya pengetahuan akan aturan-aturan dasar pemerintah Amerika, tetapi kita akan sama sekali mengacuhkan:

Jangan salah sangka. Perjanjian Baru adalah inspirasi firman Allah. Perjanjian Baru sungguh berisikan keinginan Tuhan bagi kita. Kita harus hidup berdasarkan prinsip-prinsip dan perintah-perintah Alkitab. Alkitab secara akurat dan tepat menyatakan tentang hidup Yesus, ajaran-ajaran-Nya, dan ajaran-ajaran para Rasul. Tetapi harus diterima dengan wahyu seutuhnya dari Gereja. Alkitab bukanlah "tiang dan pondasi kebenaran." Gerejalah tiang dan pondasi kebenaran! (1 Timotius 3:15) Apa yang dinyatakan Alkitab adalah "akurat" tetapi bukan gambaran yang "komplit" tentang Allah yang berkarya melalui Kristus dalam Gereja. Markus mengakhiri Injilnya dengan:

Tetapi dia tidak memberitahu kita kemana mereka pergi atau apa yang mereka lakukan! Kisah Para Rasul mengisahkan awal mula Gereja dengan kuasa yang luar biasa, tetapi membuat kita berpikir tentang apa yang terjadi setelah pengadilan Paulus di pasal ke 28. Tidak sedikitpun diceritakan tentang delapan Rasul yang lainnya. Apakah mereka melakukan mukjijat-mukjijat? Apakah mereka mati demi iman? Jika demikian, bagaimana matinya mereka dan dimana? Konsekuensinya, melihat Kristianitas melalui kacamata Perjanjian Baru sama saja halnya dengan mencoba melihat kota New York lewat jendela lantai pertama dari gedung World Trade Center!

Kita juga harus mempertimbangkan bahwa Alkitab tidak menghasilkan Gereja, tetapi Gerejalah yang menghasilkan Alkitab. Gereja tidak dibangun diatas Alkitab, melainkan diatas para Rasul dan para Nabi. Kristus tidak meninggalkan sebuah buku yang tertulis untuk membimbing Gereja-Nya, tetapi Dia meninggalkan orang-orang yang diberi kuasa Roh Kudus! Perjanjian Baru, sebagaimana yang kita miliki sekarang ini, tidak dikanonisasi sampai tahun 393 Masehi. Sampai dengan saat itu, apa yang memberi Gereja kesinambungan antara para Rasul sampai dengan kanonisasi Perjanjian Baru? Apa yang menentukan iman yang ortodoksi ditengah-tengah berbagai bidaah dan kaum pembangkang yang mendukungnya? Kecuali beberapa variasi kecil, bagaimana Gereja bisa beribadat dengan cara yang sama di seluruh dunia? Bagaimana bisa penulis demi penulis menyebut Gereja sebagai "Katolik" (universal) tanpa unsur Perjanjian Baru yang mempersatukan mereka? Apa yang membuat Gereja tetap berdiri sampai Perjanjian Baru dikanonisasi? Bahkan, apa yang menjadi "pegangan" bagi para pakar untuk menerima kitab-kitab tertentu dan menyisihkan kitab-kitab lainnya dari kanon Perjanjian Baru?

Jawaba-jawaban dari pertanyaan ini ditemukan dalam Tradisi-tradisi para Rasul yang diturunkan kepada Bapa-bapa Gereja Perdana. Ini mungkin kedengaran aneh bagi telinga Protestan. Kita telah diajarkan bahwa Firman punya keunggulan terhadap apapun juga! Akan tetapi kita mengabaikan Gereja yang justru mengumpulkan, memelihara, dan menjadikan Firman tersebut. Apakah Tradisi para Rasul dan Bapa Gereja lebih unggul daripada Alkitab? Sama sekali tidak! Alkitab bersama dengan Tradisi para Rasul dan Bapa Gereja memberikan kita gambaran yang utuh dari karya Allah dalam Gereja dan melalui Gereja.

Orang Yahudi mengerti dengan baik posisi tradisi dalam iman mereka. Kitab Taurat diberikan oleh Allah kepada Israel di gurun Sinai, tetapi juga ada "tradisi oral" yang disebut Talmud, yang menjelaskan bagaimana aplikasi Taurat. Sebagai contohnya, kitab Taurat menetapkan berapa kali dan macam kurban yang dipersembahkan oleh seorang imam, tetapi tidak selalu memberitahukan bagaimana cara menyembelih binatang kurban, cara memotong-motongnya, ataupun cara menyajikannya diatas altar. Para hakim aga memberikan keadilan, tetapi Taurat tidak menceritakan bagaimana tata cara pengadilan dijalankan. Agar pertunangan dan perkawinan dilaksanakan, tetapi Taurat tidak mengisahkan secara detail bagaimana dan dimana upacara perkawinan dilaksanakan. Detail-detail dan aplikasi-aplikasinya diturunkan melalui tradisi-tradisi oral, melalui para imam.

Tentunya tradisi oral tidak memiliki otoritas yang dimiliki kitab suci, dan beberapa kali tradisi-tradisi Yahudi bertentangan dengan wahyu Ilahi. Inilah tradisi-tradisi yang dikutuk oleh Yesus (Matius 12:2, 10; 16:12; Markus 7:1-23). Akan tetapi Yesus sendiri mengikuti tradisi-tradisi tertentu:

1. Dia menerima gelar Rabbi
2. Dia mengumpulkan para murid disekeliling-Nya
3. Dia berjenggot
4. Dia menjalankan tradisi cuci-kaki bagi para tamu
5. Dia jarang berkeliaran diluar Israel dan berinteraksi dengan kaum non-Yahudi
6. Dia pergi ke synagog (Bait Allah) pada hari Sabat
7. Dia mengakui "kursi Musa" sebagai otoritas pengajaran yang sah dari agama Yahudi (Matius 23:1).

Akan tetapi, Tradisi Apostolik sangat berbeda dengan tradisi-tradisi Yahudi yang mana Tradisi Apostolik memiliki SEGALA hal yang diturunkan oleh para Rasul kepada para penerusnya, baik tertulis maupun lisan (oral). Inilah wahyu seutuhnya dari Yesus yang dipercayakan kepada Gereja, dan bukan akumulasi praktek dan interpretasi seperti yang dianut oleh banyak orang sekarang. Inilah Tradisi Suci (Yunani: paradosis = "yang diturunkan") ADALAH wahyu Allah yang diteruskan dari satu generasi ke generasi selanjutnya sebagai pengetahuan yang kudus. Inilah "iman yang telah disampaikan kepada orang-orang kudus" (Yudas 3). Dalam 2 Tesalonika, Paul menasihatkan kepada umat di Tesalonika:

Berdirilah teguh dan berpeganglah pada ajaran-ajaran (Yunani:paradosis=tradisi) yang kamu terima dari kami, baik secara lisan, maupun secara tertulis.(2 Tesalonika 2:15)

Dia menulis kepada umat di Korintus

Aku harus memuji kamu, sebab dalam segala sesuatu kamu tetap mengingat akan aku dan teguh berpegang pada ajaran (paradosis) yang kuteruskan kepadamu. (1 Korintus 11:2)

Bagi mereka yang menolak otoritasnya, Paulus merujuk pada tradisi-tradisi gereja yang tidak tertulis tapi dipraktekkan secara universal:

Tetapi jika ada orang yang mau membantah, kami maupun Jemaat-jemaat Allah tidak mempunyai kebiasaan yang demikian. (1 Korintus 11:16)

Pernyataan-pernyataan yang dibuat oleh Paulus ini menunjukkan bahwa praktek dan tradisi yang diakui oleh para Rasul telah mulai tumbuh sejak masa hidupnya. Bahkan, dia mengutip ajaran-ajaran Yesus yang tidak bisa ditemukan dalam kitab-kitab Injil:

...ingatlah kata-kata Tuhan Yesus sendiri ucapkan: "Lebih baik memberi daripada menerima"

Demikian pula Tuhan telah menetapkan bahwa mereka yang memberitakan Injil, harus hidup dari pemberitaan Injil itu. (1 Korintus 9:14)

Oleh karenanya, iman Kristiani mulai tumbuh melebihi halaman-halaman kitab Perjanjian Baru. Adat-istiadat, praktek-praktek, tradisi-tradisi, yang segalanya dilakukan dan diakui oleh para Rasul, membimbing Gereja abad pertama melalui tahun-tahun formasinya. Tanpa pengetahuan dan familiaritas dengan SEGALA ajaran-ajaran Gereja, pemahaman kita terhadap pesan Kristiani mungkin baik, tetapi jelas tidak utuh.

Maka, marilah kita kembali kepada awal-awal Gereja dan menemukan kembali harta-karun yang berharga dari Tradisi Apostolik. Marilah kita meneliti kembali sejarah yang panjang dari Gereja yang didirikan Yesus dan menikmati keutuhan iman Kristiani. Untuk informasi lebih lanjut menyangkut topik yang menarik ini, harap menulis ke Maranatha Christian Church , 4801 Oakman Blvd., Detroit, MI 48204 atau menulis email kepada saya (dalam bhs.Inggris) di Mchurch788@aol.com.

Gereja Pentakosta Kulit Hitam Memilih Untuk Menjadi Katolik

oleh Diane Morey Hanson, Credo 19 Juni 2000

DETROIT - Ketika pendeta Alex Jones berkhotbah, suaranya yang penuh semangat bergema di atap kubah Gereja Kristen Maranatha di Oakman Boulevard di West Detroit. Tetapi hal ini tidak akan berlangsung lama lagi.

Tempat yang luas dan penuh dengan ornamen yang dulunya adalah sebuah Gereja Ortodoks itu telah dijual.

Hal itu disebabkan karena kongregasi yang mayoritasnya orang kulit hitam telah menciut dari 200 menjadi 80 selama dua tahun terakhir ketika Pastor Jones, 58, merubah tata ibadat gaya Pantekosta untuk menyerupai Misa Katolik.

Dan pada tanggal 4 Juni, di hari Minggu untuk perayaan persatuan umat Kristen dan Yesus Naik ke Surga - kongregasi itu mengambil suara 39-19 untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk menjadi Katolik.

Kisah perjalanan mereka adalah suatu perjalanan iman yang dipenuhi dengan kejutan, kemarahan, sakit hati, keraguan, kasih dan sukacita.

Apa kamu sudah gila?

"Saya pikir ada roh jahat yang telah mempengaruhinya," kata Linda Stewart mengenai pamannya, Alex Jones, pastor gereja Maranatha (dari kata Aram yang berarti "Tuhan datanglah"). Saya pikir dalam usahanya untuk mencari kebenaran, dia telah melangkah terlalu jauh dan kehilangan akal sehatnya."

Alasan kekhawatiran Linda Stewart karena pamannya, yang sudah seperti ayah kandung sendiri sejak ayah kandungnya meninggal bertahun-tahun yang lalu, telah merubah studi Alkitab hari Rabu menjadi studi para Bapa Gereja perdana. Dan secara bertahap dia merubah ibadah hari Minggu menjadi menyerupai Misa Kudus Katolik: berlutut, Tanda Salib, Kredo Nikea, perayaan Ekaristi - pendeknya seluruh hal-hal yang berbau Katolik.

"Dulu kita diajarkan bahwa Gereja Katolik adalah Pelacur Besar (dari Kitab Wahyu)," Stewart yang berusia 43 tahun menjelaskan. "Kita dulu diajarkan bahwa Sri Paus adalah sang Anti-Kristus. Maria?--Maria?--tidak bisa! Kita dulu sangat bersukaria dan menikmati kesukacitaan bersama Yesus dan lantas tahu-tahu dia datang dan menawarkan hal ini."

"Saya sangat marah!!" kata Stewart. "Dan saya pikir, 'Engkau sudah gila kalau engkau pikir kita akan melakukan hal ini!'"

Bibit telah tertanam beberapa tahun yang lalu ketika Jones menghadiri acara debat antara pengarang anti-Katolik David Hunt dan apologis Katolik Karl Keating dalam suatu acara radio.

Jawaban-jawaban Katolik

Keating menanyakan suatu pertanyaan: Siapakah yang anda percaya dalam suatu kasus kecelakaan--seseorang yang hadir disana sebagai saksi mata atau seseorang yang datang bertahun-tahun kemudian? Untuk belajar tentang Gereja Kristen perdana, Keating menekankan, penting kiranya untuk membaca tulisan-tulisan para Bapa Gereja perdana yang ada disana sejak awal mulanya.

"Sungguh masuk akal, tetapi waktu itu saya belum siap untuk berubah," kata Jones. "Saya kesampingkan dalam hati saya dan merenungkannya, tetapi hal itu tidak muncul lagi sampai saya membaca para Bapa Gereja dan melihat sebuah ke-Kristenan yang tidak kami miliki di gereja kami."

Perubahan itu

Jones sangat terkejut. "Saya melihat kenyataan bahwa pusat ibadah sama sekali bukan khotbah ataupun kerja karunia-karunia Roh Kudus, melainkan Ekaristi sebagai Tubuh dan Darah Kristus yang sesungguhnya," dia berkata.

Pada awal musim semi 1998 Pastor Jones dan kelompok studi Alkitab hari Rabu memutuskan untuk merekonstruksi kembali suatu tata ibadah Gereja perdana.

Sebulan sesudahnya Jones mengadakan perayaan Ekaristi setiap Minggu. "Kongregasi saya pikir ini suatu hal yang aneh," dia berkata. "Mereka berpikir sekali sebulan saja sudah cukup."

"Saya menyadari bahwa orang-orang akan pergi," dia berkata, suaranya penuh dengan rasa sedih. Selain masalah-masalah teologis, juga ada masalah rasial, kultur dan perbedaan sosial yang harus ditangani.

"Satu-satunya institusi yang dimiliki oleh warga keturunan Afrika-Amerika adalah gereja," kata Jones. "Ketika kamu merelakannya dan pergi ke institusi yang dimiliki oleh orang kulit putih, hal ini tidak sensitif terhadap kebutuhan-kebutuhan orang-orang kulit hitam, sungguh bukan suatu hal yang mudah."

Buku Crossing the Tiber, oleh guru Alkitab, Steve Ray, memberikan Jones dengan ajaran Alkitabiah tentang Pembaptisan dan Ekaristi. Jones diperkenalkan dengan Ray ketika dia menelpon Seminari Hati Kudus (Sacred Heart Seminary) dan berbicara dengan Bill Riordan, yang dulunya menjabat sebagai profesor teologi disana. Dia mulai bertemu dengan Ray secara teratur dan berkomunikasi nyaris tiap hari lewat telepon dan email.

Studi Alkitab hari Rabu berubah menjadi studi tentang para Bapa Gereja perdana, Katekis Katolik, Maria, para kudus, api penyucian, teologi sakramental, dan perkembangan doktrin-doktrin iman.

"Saya mulai meninggalkan paham Sola Scriptura (bahwa kita hanya boleh percaya pada Alkitab saja)--yaitu inti sari kepercayaan Protestan," kata Jones.

Orang-orangpun mulai meninggalkannya.

Bahkan keponakan perempuan Jones sendiri juga berpikir demikian. "Setiap hari Minggu saya pulang kerumah dan berkata, 'Ini hari Minggu saya yang terakhir. Saya keluar dari gereja ini dan tidak akan kembali lagi.' " Tetapi, kata Stewart, karena dia percaya pamannya adalah hamba Allah yang saleh, dia kembali datang ke gereja dan secara bertahap hal-hal mulai masuk akal.

Dalam proses merubah gaya ibadat gereja Maranatha, Jones berpikir, "Kenapa saya harus menemukan ulang dari awal?" Sudah ada Gereja yang memiliki hal ini, yaitu Gereja Katolik.

"Saya mulai menyadari bahwa 'Gereja di ruang atas' (merujuk pada ruang dimana Yesus dan para murid mengadakan perjamuan terakhir) adalah Gereja Katolik, " kata Jones. "Semua gereja-gereja lain bermunculan sesudahnya dan punya seseorang pendiri. Saya telah menemukan Gereja yang didirikan oleh Yesus Kristus dan untuk itu saya rela untuk kehilangan segala-galanya."

Untuk hal yang satu ini, dia telah dicobai.

Kesulitan di rumah

"Pada awalnya saya pikir dia sedang terliputi oleh kegembiraan mengadakan ibadah seperti para Bapa Gereja perdana," kata Donna Jones, istri yang telah mendampingi Alex selama 33 tahun. "Ini bakalan menjadi hal yang cuma berlangsung sebentar. Lantas kemudian dia mulai merubah hal-hal secara drastis dan saya mulai menerka-nerka apa yang sedang terjadi. Saya menjadi khawatir karena saya merasa dia sedang menuju arah yang salah."

Pastor Jones berkata, kadang-kadang, baik istrinya maupun ketiga puteranya yang sudah dewasa, Joseph, Benjamin, Marc, menentang perubahan-perubahan tersebut secara terbuka. Tetapi ini bukan suatu hal yang mengherankan.

"Dia sendiri dulu pernah berkhotbah bahwa Gereja Katolik penuh dengan penyembahan berhala, " kata Donna. "Jadi ketika dia mulai menyambut Gereja Katolik saya berkata, 'Ada sesuatu hal yang salah disini. Dia telah berubah haluan.' "

Alex dan Donna mulai berargumentasi dan berdebat dalam berbagai isyu, kadangkala sampai lewat dini hari.

"Saya mulai melakukan riset tentang Gereja Katolik karena saya ingin membantah apa yang dikotbahkannya, " Donna menjelaskan. "Saya perlu amunisi. Tetapi sewaktu saya mulai membaca tentang Bapa Gereja, suatu perubahan mulai tumbuh dalam hati saya."

Dalam musim panas 1998 Dennis Walters, pembimbing RCIA (Rite of Christian Initiation for Adults, atau program katekis) di paroki Kristus Raja (Christ the King Parish) di Ann Arbor, bertemu dengan keluarga Jones di rumah Steve Ray.

"Saya memutuskan, daripada membiarkan mereka 'berenang' atau 'tenggelam' sendirian, " Walter berkata, "Saya menawarkan bantuan."

Walters memberikan mereka dan para tetua dan deakon gereja Maranatha buku-buku Katekis Katolik dan menjawab banyak sekali pertanyaan-pertanyaan mereka seputar doktrin-doktrin Katolik.

Sejak Maret 1999, Walters bertemu dengan keluarga Jones setiap hari Selasa selama empat sampai lima jam. "Saya telah membahas sebagian besar topik-topik RCIA bersama dengan mereka," dia berkata.

Bagi Donna, hal ini membawa lebih banyak lagi pertanyaan-pertanyaan. "Saya sampai berada dalam situasi dimana saya begitu sangat membutuhkan jawaban-jawaban sehingga saya akan mengendara mobil di jalan dan saya akan berbicara kepada Tuhan Yesus seolah-olah saya sedang bercakap-cakap dengan seorang manusia lain di dalam mobil saya," dia berkata. "Bibir saya akan bergerak-gerak dan saya tidak peduli apa kata orang yang melihat saya berbuat demikian."
Dia dibebani dengan pikiran bahwa kalau bergabung dengan Gereja Katolik berarti suaminya akan kehilangan mata pencaharian.

"Jadi saya berkata, 'Tuhan, apa yang akan saya lakukan selama melakukan pelayanan selama 25 tahun? Bagaimana dengan kuku-kuku saya? Saya tidak bisa lagi mendapat pedicure atau manicure,' " dia tertawa. "Lantas Roh Kudus berbicara dalam hati saya dan berkata, 'Aku tidak meminta kenyamananmu. Aku memikirkan bahwa supaya engkau menyerupai Kristus.'"

Hanya delapan bulan yang lalu Donna menemui suaminya di suatu malam dan mengumumkan, 'Saya mau masuk Katolik."

Lintasan yang hati-hati menuju Roma

Tetapi proses memasuki Gereja tidak begitu tiba-tiba. Maranatha telah berkomunikasi dengan Keuskupan Detroit selama lebih dari setahun. Keuskupan Agung bergerak dengan hati-hati karena ada banyak hal yang perlu ditangani, termasuk RCIA, perkawinan-perkawinan ulang, dan kemungkinan posisi pelayanan Katolik bagi para gembala di gereja Maranatha.

Ned McGrath, direktor komunikasi di Keuskupan-agung Detroit, mengeluarkan pernyataan kepada Credo: "Dalam semangat Yubileum Agung, Kardinal Maida dan Keuskupan-agung Detroit telah membuka diri terhadap keinginan-keinginan dari para pemimpin kongregasi Kristen lainnya, berikut anggota kongregasi mereka, menyangkut kemungkinan transisi ke dalam keanggotaan dalam Gereja Katolik Roma. Sampai hari ini, pembicaraan-pembicaraan ini mesti dinyatakan sebagai awal-mula, privat, dan tidak konklusif."

Beberapa minggu lalu Uskup Moses Anderson, satu-satunya uskup Detroit keturunan Afrika-Amerika, menghadiri ibadah hari Minggu di Maranatha. Setelah selesai ibadah dia menjawab pertanyaan-pertanyaan yang timbul dan mengatakan kepada kongregasi bahwa para Uskup sangat bersukacita menyangkut situasi yang terjadi di sana. "Dia berkata bahwa mereka memerlukan banyak waktu lama supaya tidak ada kesan seolah-olah mereka berusaha mengambil keuntungan dari situasi ini," kata Walters.

Meskipun ada kemungkinan bahwa Pastor Jones bisa masuk seminari dan menjadi seorang imam Katolik atau deakon, tak satupun hal yang pasti, meskipun pastor-pastor yang sudah menikah dari denominasi lain pernah menjalani hal ini.

Steve Anderson, dari White Lake, adalah imam di sebuah Gereja Episkopal Karismatik sebelum meninggalkan gerejanya dan jabatan sebagai imam untuk bergabung dengan Gereja Katolik. Meskipun menikah dan punya tiga anak, Anderson mendapatkan ijin dari Roma untuk menjadi seorang imam Katolik dan akan masuk Seminari Tinggi Hati Kudus (Sacred Heart Major Seminary) pada musim gugur untuk memulai studi tiga tahun sebelum ditahbiskan di Keuskupan Lansing.

Ironisnya, Anderson bertemu dengan Jones beberapa tahun sebelumnya di dalam suatu bus yang dipenuhi dengan para pastor dari wilayah Detroit yang sedang menuju pertemuan Promise Keepers (suatu fellowship Protestan). "Secara kebetulan kami duduk saling bersebelahan," kata Anderson. "Saya waktu itu tidak memiliki rencana untuk menjadi Katolik. Kita berbincang-bincang tentang para Bapa Gereja perdana dan menjadi kawan baik."

Jones tidak khawatir terhadap masa depannya sebagai gembala. Dia berkata bahwa dirinya siap untuk melakukan apa saja yang diminta oleh Kardinal Adam Maida.

"Saya mungkin harus pergi dan mencari pekerjaan lain sekarang," Jones tertawa. Dia pernah menjadi guru di sekolah negri Detroit selama 28 tahun, 17 tahun diantaranya juga sekaligus melakukan pelayanannya sebagai gembala.

Jadi Katolik atau tidak...

Akhirnya semua mencapai puncaknya pada voting pada tanggal 4 Juni. Pertanyaannya adalah: Apakah kalian mau mengambil langkah-langkah yang diperlukan selanjutnya untuk bergabung dengan Gereja Katolik?

Sewaktu anggota kongregasi melewati pintu-pintu kayu yang besar di gereja Maranatha, mereka memasukkan kartu-suara mereka ke dalam kotak suara.

Tidak peduli apapun hasilnya, keluarga Jones, termasuk ketiga puteranya dan keluarga mereka masing-masing, sudah membulatkan tekad bahwa mereka akan melanjutkan perjalanan mereka ke dalam Gereja Katolik.

Suara tepuk tangan menggemuruh ketika hasil pemungutan suara diumumkan yang menyatakan bahwa kongregasi setuju untuk menjadi Katolik, tetapi kemenangan itu juga mengandung kepahitan.

Meskipun Jones mendorong ke 19 orang yang menjawab tidak, untuk tetap bersama mereka sebagai keluarga gereja, dia tahu bahwa sebagian akan pergi.

"Ini adalah suatu hal yang paling menyakitkan dari hal ini, melihat orang-orang yang engkau kasihi pergi meninggalkanmu karena mereka tidak mengerti," dia berkata. Bahkan anggota kongregasi dari gereja-gereja yang berdekatan juga turut marah. "Rasanya seolah-olah saya telah bergabung dengan musuh, seolah saya telah menghianati mereka. Saya menerima banyak telepon dari orang-orang yang berkata, "Saya mengasihimu. Saya berdoa bagimu, tetapi saya tidak mengerti apa yang kamu lakukan,' Dan tidak peduli betapa besar usahamu untuk mencoba membuat mereka mengerti, mereka menutup pintu hati mereka terhadap ide menjadi Katolik."

Diantara 19 orang yang tidak setuju adalah Leola Crittendon yang berusia 64 tahun. "Saya salah satu anggota asli sejak awal," demikian katanya. Dia dan suaminya telah menjadi anggota aktif gereja Maranatha sejak dari mulanya. "Rasanya seperti kematian suatu gereja. Sungguh membuat patah hati."

Crittendon mengatakan bahwa dia tidak pernah menghadiri studi Alkitab di hari Rabu karena dia tahu dia tidak ingin dirinya menjadi Katolik. "Pokoknya bukan untuk saya.""

Pastor Jones, menurut katanya, adalah seperti seorang kakak bagi dirinya dan keluarganya. "Kami sangat mengasihi dia, dan mengucapkan selamat dan berdoa baginya setiap hari."

Tetapi keluarga itu akan mencari gereja lainnya, kata Crittendon. "Pastor Jones mengatakan bahwa ini adalah kehendak Allah bagi dirinya, tetapi ini bukan kehendak Allah bagi saya dan keluarga saya."

Sedangkan bagi yang lain-lainnya, ini adalah suatu keputusan yang patut dirayakan.

"Saya sungguh berbahagia," kata keponakan Jones, Linda Stewart. "Saya tidak bisa menunggu lebih lama lagi untuk berada dalam persekutuan penuh dengan Gereja karena saya percaya bahwa Gereja Katolik adalah Gereja yang ditinggalkan oleh Kristus di dunia dan saya ingin menjadi bagian dari Gereja tersebut."

DeGloria Thompson, seorang ibu yang bercerai dengan dua anak yang sudah dewasa berkata, "Sungguh menggembirakan untuk berada dalam Gereja Kristus."

"Saya sudah siap," kata Gregory Clifton, yang berusia 41 tahun, seorang ayah dari empat anak yang masih kecil-kecil. "Saya sangat senang untuk datang dan menerima Ekaristi."

Pendeta Michael Williams telah menjadi tetua di gereja Maranatha selama 12 tahun. "Saya yakin dengan sepenuh hati dan tanpa keraguan sedikitpun, bahwa perubahan ini adalah kehendak Allah dan bahwa arah yang kami tuju adalah kehendak Allah."

Pendeta Alex Jones juga mengetahui hal itu. "Ini pasti adalah kerja Roh Kudus," dia berkata.

"Ketika dinyatakan kepada diri saya bahwa inilah Gereja-Nya, sungguh bukan suatu keputusan yang sulit untuk dibuat meskipun saya tahu harus kehilangan segalanya," dia berkata.

Sekarang yang dibutuhkan adalah sebuah gereja yang baru bagi rumah mereka. Para anggota kongregasi gereja Maranatha punya waktu 30 hari untuk menemukannya. Jones tidak khawatir. "Kami percaya Allah akan menemukan suatu gereja bagi kami," katanya.

Bagi Pastor Jones dan kongregasi Maranatha--kisah ini masih berlanjut...
Pendeta Alex Jones telah mencapai puncak kesuksesan sebagai pendiri dan
pastor senior dari sebuah fellowship Pentakosta yang terkenal di kota
Detroit, yaitu Gereja Kristen Maranatha. Mayoritas kongregasi pimpinan
pastor Jones adalah orang-orang kulit hitam, yang berakar pada aliran
evangelikalisme Amerika yang biasanya banyak ditemukan di wilayah-wilayah
perkotaan di Amerika Serikat - yaitu Gereja Allah dalam Kristus (Church of
God in Christ). Yang tidak umum adalah bangunan gerejanya yang berarsitektur
gaya Ortodoks Yunani (lihat foto). Kubah yang didominasi dengan ubin
berwarna hijau, dikelilingi oleh menara, minaret dan salib-salib. Di sebelah
dalamnya, altar dan langit-langitnya dihiasi dengan portal-portal berwarna
putih yang membentuk busur, pilar-pilar yang berlekuk-lekuk, dan kandelir
(tempat lilin) berdaun keemasan. Di tempat inilah kebaktian mereka berjalan
dengan penuh sukacita dan studi Alkitab mereka berlangsung dengan serius.
Dalam situasi seperti inilah pastor Alex Jones menjabat sebagai pimpinan
dari suatu keluarga gereja yang tumbuh subur yang juga meliputi istri dan
anak-anak dari ketiga putera mereka.

Suatu ketika, pada suatu Rabu malam pada tahun 1998, pendeta Jones
mengajukan suatu usul yang sederhana dan polos kepada kelompok studi
Alkitabnya. Pada awalnya, kelompok studi itu menganggap idenya sebagai suatu
hal yang baru. Ujung-ujungnya, hasil dari saran tadi membawa gereja tersebut
pada pergolakan, perpecahan dan akibatnya reputasi pendeta Jones
dipertanyakan di seluruh penjuru kota. Banyak orang berpikir pendeta Jones
cuma sedang melalui suatu "fase" dalam hidupnya. Tetapi bulan demi bulan
berlalu, dan orang-orang menganggap pendeta Alex Jones sebagai kombinasi
terburuk dari penganut ajaran sesat dan orang tidak waras. Putera-puteranya
memberontak dan sang istri bahkan memikirkan untuk minta cerai. Tetapi bagi
orang-orang lainnya, pendeta Alex Jones sehat lahir-batin dan semata-mata
telah menemukan kebenaran yang sesungguhnya atas Gereja Kristen. ?

Apa yang telah pendeta Alex Jones lakukan adalah memberi saran supaya pada
pertemuan malam Rabu berikutnya, kelompok studi Alkitab tersebut
merekonstruksi tata ibadah gereja abad pertama. Menemukan kembali akar-akar
kekristenan dalam para Bapa-bapa Gereja dari awal abad kedua adalah maksud
tujuannya. Pendeta Jones sama sekali tidak bermimpi kemana hasil studinya
itu akan membawanya. Seperti diceritakan oleh pendeta Jones, apa yang
ditemukannya bukanlah Protestanisme, bukan pula Evangelikalisme, bukan pula
Pentakostalisme, melainkan adalah Gereja Katolik! Padahal selama ini dia
sendiri telah mengajarkan dari atas mimbar gereja bahwa Gereja Katolik dan
Sri Paus tidak lain adalah sang "pelacur Babel" dan sang "Anti-Kristus"
sendiri.

Dalam bulan-bulan berikutnya, dengan sengaja pendeta Alex Jones memimpin
kongregasinya melalui sejumlah kritisisme dan kecurigaan. Mereka
menghabiskan waktu berbulan-bulan untuk mempelajari perbedaan antara gaya
ibadah Pentakosta yang sangat mereka kenal, dengan ibadah Katolik yang tidak
mereka ketahui. Pada tanggal 4 Juni 2000, mereka sebagai kongregasi
mengambil keputusan untuk maju. Bangunan gereja dijual. Pada tanggal 10
September 2000 mereka memasuki Gereja katolik bersama-sama sebagai peserta
program katekumen. Setelah lebih dari tujuh bulan mengikuti program RCIA
(Rite of Christian Initiation for Adults, = program katekumen), mereka akan
menerima sakramen penguatan sebagai Katolik selama Misa Malam Paskah tahun
2001 yang akan berlangsung selama 4 jam. Sementara itu, pendeta Alex Jones
telah memasuki seminari Katolik. Dia memang telah menikah dan punya anak,
tetapi dia telah mendapat informasi bahwa Sri Paus telah membuat berbagai
pengecualian. Suatu hari Alex Jones berharap ia boleh menjadi imam Katolik
bagi kongregasinya.

Urut-urutan kronologis kisah perjalanan spiritual pendeta Alex Jones
memiliki saat-saat yang mengesankan dan dramatis. Ditengah-tengah kisah ini
adalah pendeta Alex Jones, seorang idealis, yang tanpa henti-hentinya
berusaha untuk mencari kebenaran, dan memimpin kongregasinya untuk
berhadapan dengan sejumlah konflik antara kultur, kelas sosial, rasial dan
agama, empat bagian dari dokumentari ini. Gereja Kristen Maranatha berakar
pada kultur yang inklusif dan sederhana. Sementara itu, banyak anggota
kongregasi ini memiliki persepsi bahwa Katolikisme sebagai kultur yang
ekskulif dan penuh ritual. Kebanyakan gereja-gereja perkotaan melayani kelas
sosial yang lebih miskin; sedangkan Katolikisme dianggap hanya melayani
mereka yang kaya. Pendeta Jones dan mayoritas kongregasinya adalah warga
Amerika kulit hitam keturunan Afrika. Sementara itu tetangga-tetangga mereka
yang Katolik, meskipun di wilayah dalam kota yang mayoritasnya kulit hitam,
umumnya berkulit putih. Akan tetapi penghalang terbesar adalah iman
kepercayaan. Pentakostalisme bukan sekedar Protestanisme, melainkan dua
langkah lebih jauh melalui Evangelikalisme dan juga pengaruh gaya Karismatik
atas iman Kristen. Kisah tentang terbukanya selubung kesalah-pahaman dan
misrepresentasi antara Pentakostalisme dan Katolikisme yang memberikan
motivasi kepada pendeta Alex Jones. Sementara dia menyelidiki kebenaran,
kita berjalan disampingnya dan bersamanya menemukan interpretasi yang
menarik terhadap Reformasi Protestan oleh kalangan Protestan di Amerika
Serikat. Karena bukan hanya reformasi oleh Martin Luther dan John Calvin
yang terjadi di Eropa yang memicu penyelidikan dan konflik yang ditemukan
oleh pendeta Alex Jones, tetapi juga pola-pikir para pendiri-pendiri
denominasi Protestan di Amerika Serikat yang tanpa dapat dihindarkan telah
membawa iman Kristen kedalam kebebasan dan pilihan individualistis yang
kuat.

?

Ini adalah kisah pendeta Alex Jones. Dia mengisahkan kepada kita dengan
kata-katanya sendiri melalui wawancara mendetail di depan kamera. Kita
mendengar semangat dan kerinduannya yang menggambarkan bagaimana perjalanan
spiritualnya. Obsesinya terhadap kebenaran dengan mempertaruhkan kenyamanan
finansial dan ketentraman jasmani-rohani istri dan keluarga besarnya. Dari
posisi sebagai pemimpin gereja yang dihormati dan dicari-cari, dia sampai
dianggap tersesat dan dipermalukan. Dari posisi finansial yang nyaman, dia
sampai harus rela menjual harta-benda gerejanya demi untuk bertahan hidup.
Sementara Alex adalah fokus dari kisah ini, kita juga tidak mengabaikan
pendapat yang berseberangan sewaktu kami mewawancarai anggota-anggota
keluarga, para teman-teman, dan pendeta-pendeta lainnya dan para
pengecam-pengecam pendeta Alex Jones. Kita akan melalui kisah ini melalui
liputan dokumentari atas peristiwa-peristiwa seperti antara lain, diskusi
yang menghangat antara pendeta Alex Jones dan istrinya Donna. Kita mendengar
perbedaan pendapat teologis antara sang ayah, Alex, dan ketiga anak-anaknya,
Joseph, Benjamin, dan Mark. Kita menjadi saksi ketika pengambilan suara
dilakukan di gerejanya untuk memutuskan apakah mereka akan meninggalkan
Pentakostalisme dan melakukan perjalanan yang sulit menuju Katolikisme. Dan
kita menyaksikan dalam dokumentari ini (lihat foto-foto diatas) ketika
pendeta Alex Jones menggedor pintu gereja Katolik terdekat dan meminta suaka
dengan sejumlah anggota kongregasi yang mengikuti dibelakangnya. Suatu poin
yang dramatis dalam kisah ini terjadi ketika pendeta Alex Jones dibujuk oleh
seorang pendeta setempat untuk hadir dalam acara televisi siaran langsung
dimana pemirsa bisa menelpon masuk. Di dalam show tersebut, pendeta Alex
dipertanyakan, dicemooh, dan dipermalukan oleh sesama pendeta. Wawancara
kami dengan pemilik stasiun televisi, tuan rumah acara show tersebut, dan
sejumlah orang yang mewakili dari pihak pendeta , memberikan gambaran atas
pentingnya kisah perjalanan pendeta Alex Jones dan hubungannya dengan para
pastor-pastor gereja-gereja Pentekosta di kota Detroit.

Kita juga memiliki foto-foto dari masa kanak-kanak pendeta Alex Jones,
sebagai seorang anak laki-laki, seorang murid sekolah, dan tahun-tahunnya
ketika menjabat sebagai guru seni di sebuah sekolah negeri di kota Detroit.
Lalu juga ada surat-surat rahasia antara pendeta Alex dan pihak Gereja
Katolik dan rintangan-rintangan dari Keuskupan Agung Detroit yang curiga,
hati-hati dan birokratis. Diantara hal-hal yang diminta oleh pihak Keuskupan
Agung adalah supaya pendeta Alex Jones berhenti memberikan wawancara kepada
pihak media massa. Cerita-cerita di surat kabar dan majalah telah
mempertinggi perhatian masyarakat dan memicu emosi yang begitu tinggi
sehingga seorang pendeta melakukan perjalanan 500 mil (~800 kilometer)
sekedar untuk mengunjungi pendeta Alex, suatu hari yang tidak terlupakan.
Sepanjang semua ini, kami mengunjungi pendeta Alex dan keluarga-gerejanya
sewaktu mereka melakukan kebaktian, bernyanyi, berdoa, makan bersama,
memungut suara bagi masa depan mereka dan mulai mempelajari akar-akar
Kristen yang lama dan terlupakan. Sepanjang perjalanan yang langka ini,
pendeta Alex Jones tampak semakin dikuatkan. Dia sungguh terpesona oleh apa
yang telah dipelajarinya. Tetapi sama sekali tidak ada kesombongan,
melainkan hanya semata-mata kerendah-hatian yang penuh dengan keyakinan dan
menyolok.

Apakah perjalanan pendeta Alex hasil dari pikiran yang gila-gilaan, atau ini
adalah akhir dari Reformasi Protestan? Salah satu pendeta di Detroit
mengatakan bahwa perjalanan pendeta Jones boleh jadi merupakan transisi
penting dalam sejarah Protestanisme. Pendeta Alex Jones punya kesan emosi
yang kuat terhadap masa lalu dan boleh jadi dia sedang menjalankan peran
yang historis dalam sejarah Kristen. Fakta bahwa perbuatannya telah
menimbulkan oposisi yang menggunung dan serupa dalam gaya tetapi dalam arah
yang berbeda dengan yang diambil oleh para reformer abad ke-16 seperti
Martin Luther, tidak dilewatkan oleh pendeta Alex Jones. Karena serupa
seperti Martin Luther, pendeta Alex Jones adalah seorang yang penuh hati
nurani, intelektual dan semangat yang meluap-luap. Dan meskipun harus
kehilangan sejumlah besar sahabat-sahabat seumur hidup, pelayanan sebagai
pendeta, dan kenyamanan finansialnya, pendeta Alex Jones, seperti Martin
Luther, sampai pada suatu titik dimana dia harus berkata, "Disinilah aku
berpegang. Aku tidak dapat melakukan yang lainnya. Tuhan tolonglah aku."

Pastor beserta kongregasinya menjadi Katolik pada malam Paskah

DETROIT. Ketika Alex Jones yang lahir di Detroit menjadi pendeta Pentakosta
pada tahun 1972, mereka yang mengenalnya percaya bahwa dia menjawab
panggilan Tuhan untuk menginjil. Sekarang, banyak dari sanak-saudaranya
maupun sahabat-sahabatnya menganggap sang pendeta yang berumur 59 tahun
tersebut sebagai seorang murtad karena menyambut iman Katolik, dan menutup
gereja non-denominasi yang dibangunnya pada tahun 1982, dan membawa sejumlah
anggota kongregasinya bersamanya.

Pada malam Paskah tanggal 14 April lalu, Jones, berserta istrinya Donna, dan
62 anggota Gereja Kristen Maranatha diterima dalam Gereja Katolik pada Misa
Malam Paskah di paroki St.Suzanne. Bagi Jones, menjadi Katolik menandai
akhir perjalanan spiritual yang dimulai dengan benih iman yang ditanamkan
oleh apologis Katolik dan kolumnis di National Catholic Register, Karl
Keating. Demikian hal ini juga menandai cara hidup yang baru.

Jones pertama kali mendengar Keating, pendiri kerasulan awam Catholic
Answers (www.catholic.com), dalam suatu acara debat mengenai apakah
asal-mula Gereja Kristen adalah Protestan atau Katolik. Menjelang akhir
debat, Keating melontarkan pertanyaan, "Jika terjadi sesuatu peristiwa,
siapakah yang akan anda percaya: mereka yang menyaksikan peristiwa tersebut,
ataukah orang-orang yang datang ribuan tahun berikutnya dan menceritakan apa
yang telah terjadi?"

"Suatu poin yang bagus," demikian pikir Jones, dan menyimpannya dalam hati.
Lima tahun kemudian, ketika dia sedang membaca tulisan-tulisan para Bapa
Gereja, pertanyaan yang dilontarkan Keating kembali muncul. Jones mulai
studi mengenai asal-mula Gereja, dan membagikan apa yang ditemukannya dengan
kongregasinya.

Untuk menggambarkan apa yang dia katakan, pada musim semi tahun 1998 dia
merekonstruksi ulang tata ibadah Gereja perdana, meskipun sama sekali tanpa
maksud untuk merubah gaya ibadah kongregasi yang dipimpinnya. "Tetapi sekali
saya menemukan kebenaran yang mendasar dan melihat bahwa Kristen (dulu)
tidak sama seperti apa yang saya ajarkan, beberapa penyesuaian perlu
dilaksanakan."

Tidak lama kemudian, kebaktian hari Minggu Gereja Kristen Maranatha makin
menyerupai Misa Katolik dengan warna-warna Pentakosta. "Kami mengucapkan
semua doa-doa dengan segala aturan-aturan Gereja, semua bacaan-bacaan,
doa-doa Ekaristi (Syukur Agung). Kami melakukan semuanya, dan kami
melakukannya dengan gaya warga keturunan Afrika-Amerika." Akan tetapi, tidak
semua orang menyukai perubahan-perubahan tersebut, dan kongregasi
beranggotakan 200 orang tersebut mulai menyusut.

Sementara itu, Jones menghubungi Seminari Hati Kudus (Sacred Heart Seminary)
di kota Detroit dan diperkenalkan dengan Steve Ray dari Milan, Michigan.
Steve Ray adalah penulis best-seller yang kisah kesaksiannya tertera dalam
buku "Crossing The Tiber."

"Saya segera membuat janji untuk makan siang bersamanya dan sejak itu
praktisnya kami selalu makan siang bersama setiap bulannya," kata Steve Ray.
Dia memperkenalkan Jones dengan Dennis Walters, seorang katekis dari paroki
Kristus Raja (Christ the King) di Ann Arbor, Michigan. Mulai bulan Maret
1999, Walters mulai memberi pengajaran mingguan kepada sang pendeta
Pentakosta dan istrinya.

Persilangan

Akhirnya, Jones beserta kongregasinya sampai di persimpangan jalan. Pada
tanggal 4 Juni, jemaat orang dewasa di Gereja Maranatha mengambil suara
39-19 untuk memulai proses untuk menjadi Katolik. Pada bulan September,
mereka mulai masuk program RCIA (katekismus, pelajaran agama) di paroki
St.Suzanne.

Gereja Maranatha ditutup untuk selamanya pada bulan Desember. Kongregasi
juga setuju lewat pemungutan suara untuk memberikan uang pesangon kepada
Jones dan menjual bangunan gereja yang dulunya adalah bekas paroki Ortodoks
Yunani, kepada Gereja Tabernakel Pertama Allah dalam Kristus (First
Tabernacle Church of God in Christ).

Father Dennis Dugan, 53 tahun, pastor paroki St.Suzanne, mengatakan bahwa
para mantan anggota Gereja Maranatha termasuk pendeta Jones, ditambah 10
orang lainnya, merupakan kelas katekumen yang terbesar yang pernah ada di
paroki tersebut.

Kesatuan dan Keberagaman

Meskipun tidak seluruh anggota paroki St.Suzanne yang umumnya berkulit putih
menerima group tersebut dengan hangat, Father Duggan, yang juga berkulit
putih, berkata bahwa dia menganggap bahwa kedatangan para pendatang tersebut
merupakan karunia dari Tuhan dan jawaban dari doa-doanya.

"Apa yang agaknya Tuhan ingin sampaikan dalam diri kami berdua - Alex dan
saya sendiri - adalah dua individual yang punya impian yang serupa
menyangkut keberagaman (diversity). Detroit adalah kota yang komunitas
etnisnya terpisah (segregated), terutama pada hari Minggu pagi (ketika umat
Kristen Katolik dan Protestan beribadah). Dan disini kami dua orang beriman
percaya bahwa kita (umat Kristen) harus tampil berbeda."

Father Duggan berharap nantinya Jones ikut bekerja sebagai staff paroki.
Bahkan sekarangpun, dia telah meminta Jones untuk membantunya mengajar studi
Alkitab setiap hari Rabu malam. Dan bahkan dia sedang berusaha untuk
mengadaptasi musik pada acara Misa Kudus supaya lebih mewakili latar
belakang etnis anggota parokinya.

"Gaya ibadah Eropa yang saat ini dipakai di St.Suzanne adalah adaptasi yang
paling sulit bagi para mantan anggota Gereja Maranatha," kata Jones, karena
mereka telah terbiasa dengan menggunakan musik kontemporer dengan doa-doa
dan ritual-ritual Katolik.

"Adaptasi kultural jauh lebih sulit daripada adaptasi teologis," demikian
katanya.

Masalah-masalah Protestan

Jones berkata bahwa empat sandungan terbesar yang dihadapi umat Protestan
terhadap iman Katolik adalah ajaran-ajaran mengenai Maria, api penyucian,
supremasi Sri Paus, dan berdoa kepada para kudus. Dia telah menuntaskan tiga
dari empat halangan tersebut lama sebelumnya, tetapi yang paling sulit
diterima adalah Maria. Akhirnya dia menerima ajaran tentang Maria hanya
karena Gereja mengajarkan demikian.

"Sedemikian terpatri dalam-dalam di benak umat Protestan bahwa hanya Allah
mendiami surga dan untuk berdoa kepada yang lainnya sama saja dengan
menyembah berhala. Kultur ini begitu tertanam dalam-dalam di hati saya bahwa
hanya Tritunggal Mahakudus boleh menerima doa-doa, sehingga ini adalah hal
yang begitu sulit untuk diterima."

Dia sekarang sedang menulis tesis tentang layaknya menghormati Maria, bagi
suatu kelas di seminari Hati Kudus di Detroit, dimana dia sedang mengambil
kelas-kelas pemula yang dibutuhkan untuk mendapatkan gelar Master dalam
bidang teologi dan studi pastoral. Dia juga sedang menulis suatu buku yang
akan diterbitkan oleh Ignatius Press (www.ignatius.com) dan menerima
permintaan untuk tampil sebagai pembicara dalam seminar-seminar Katolik
melalui St. Joseph Communications, West Covina, California
(www.saintjoe.com).

Jones, ayah dari tiga putera yang semuanya sudah menikah dan sudah mempunyai
enam cucu, menyerahkan kemungkinan dirinya untuk jadi imam Katolik, kepada
keputusan Gereja.

"Jika Gereja menyetujui panggilan itu, maka saya akan menerimanya. Tetapi
jika tidak, sayapun akan menerimanya juga. Apapun yang Gereja inginkan dari
saya, saya akan melakukannya."

Meskipun dia telah merelakan kehilangan sumber nafkah sebagai pendeta,
statusnya, dan kongregasi yang dibangunnya, demi untuk masuk Katolik, Jones
berkata bahwa kehilangan yang tersulit adalah para sanak keluarga dan
sahabat-sahabatnya yang menolaknya karena keputusan yang diambilnya (untuk
masuk Katolik).

"Menyaksikan mereka yang telah beribadah dan berdoa bersama-sama dengan saya
selama 40 tahun, pergi meninggalkan saya dan tidak lagi memiliki hubungan
dengan mereka, sungguh adalah suatu hal yang sangat menyedihkan."

Bahkan lebih menyakitkan lagi, katanya, ketika ibunya sendiri yang telah
membantunya membangun kongregasi Maranatha, pergi meninggalkannya untuk
bergabung dengan Gereja Penyempurnaan (Perfecting Church) di kota Detroit,
dimana saudara sepupunya Marvin Winans, seorang penyanyi gospel, menjabat
sebagai pastor disana.

Baik Winans maupun pastor dari gereja yang membeli bangunan milik Gereja
Maranatha, tidak mau memberi komentar atas kepindahan Jones menjadi Katolik.

Jones juga terbeban batinnya oleh mereka yang terpisah dengannya karena
mereka tidak mengerti keputusan yang diambilnya.

"Bagi mereka, saya telah murtad dan menjadi sesat. Dan itu menyakitkan hati
saya karena kita semua ingin dipandang sebagai orang baik-baik dan benar,
tetapi sekarang kamu sudah mendapat stigma sebagai orang yang labil jiwanya,
plin-plan, dan dipandang seolah-olah kamu telah meninggalkan Allah."

Jones berkata ketika groupnya sedang mempertimbangkan untuk pindah menjadi
Katolik, kelompok-kelompok doa dibentuk untuk mencegah mereka. "Orang-orang
berpuasa dan berdoa supaya Allah menghentikan kami dari 'kesalahan besar'
ini. Ketika kami tetap berpindah, mereka menganggap seolah-olah kami sudah
mati."

Dia berkata umat Katolik tidak sepenuhnya mengerti bagaimana umat Protestan
memandang gereja mereka (Katolik). "Ada lapisan tipis keramah-tamahan, dan
dibawahnya ada rasa antipati yang besar."

Tetapi dia tetap yakin bahwa dia melakukan hal yang benar.

"Bagaimana kamu bisa berkata tidak terhadap kebenaran? Saya sadar bahwa saya
akan kehilangan segala-galanya dan di lingkaran orang-orang tersebut saya
tidak akan pernah diterima kembali, tetapi saya tidak memiliki pilihan
lain," dia berkata.

"Adalah dosa maut bagi saya untuk mengetahui apa yang saya ketahui akan
tetapi tidak menjalankannya. Jika saya kembali kepada hidup saya sebelumnya,
saya bukan seorang yang jujur, dan tidak dapat dipercaya, seorang yang
melihat kebenaran, mengetahui kebenaran, dan melangkah pergi daripadanya,
dan saya sama sekali tidak dapat berbuat demikian."

Oleh wartawati Judy Roberts, Millbury, Ohio.
Alihbahasa oleh Jeffry Komala
© www.gerejakatolik.net

Tidak ada komentar:

Posting Komentar