Minggu, 07 November 2010

SIDANG AGUNG GEREJA KATOLIK INDONESIA (SAGKI) 2010

Para Pembaca yth.
Di bawah ini adalah kutipan tulisan dan reportase tentang Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia (SAGKI) 2010 yang diambil dari Milis MABRI dan KEVIN. Semoga membantu kita mengetahui dan memahami gerak perubahan wajah gereja di Indonesia saat ini.

SIDANG AGUNG GEREJA KATOLIK INDONESIA 2010
“Ia Datang Supaya Semua Memperoleh Hidup Dalam Kelimpahan”
(bdk. Yoh 10:10)
1-5 November 2010

Pada tahun 2010 ini, Gereja Katolik Indonesia akan kembali menggelar Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia (“SAGKI”) sebagai pertemuan rutin yang lazim diadakan setiap 5 (lima) tahun sekali. Sebagaimana halnya SAGKI 2000 dan SAGKI 2005 yang lalu, pada SAGKI 2010 ini Gereja Katolik Indonesia kembali menegaskan bahwa Gereja adalah bagian yang tidak terpisahkan dari realitas bangsa Indonesia. Justru dalam konteks Indonesia yang beragam dan plural inilah, Gereja Katolik hendak menyadari dan menghidupi terus-menerus “Wajah Yesus” untuk kemudian terpanggil mewujudnyatakan panggilan perutusan Gereja untuk mewartakan Yesus, Sang Kabar Gembira Keselamatan dalam berbagai lingkup kehidupan. Sejalan dengan semangat SAGKI 2000 untuk mewujudkan dan memberdayakan Komunitas Basis untuk menuju Indonesia Baru dan SAGKI 2005 yang mengusung semangat “Bangkit dan Bergerak untuk membentuk Keadaban Publik Bangsa”, maka SAGKI 2010 menjadi kesempatan Gereja, baik klerus maupun umat untuk merayakan panggilannya sebagai Gereja Yang Diutus.

Metode Narasi, yakni ”saling menuturkan kisah” dan ”saling mendengarkan kisah” menjadi warna yang khas dalam perayaan iman SAGKI 2010. Inilah inspirasi dari Kongres Misi Asia I yang diselenggrakan di Chiang Mai, Thailand pada tahun 2006 lalu bagi SAGKI 2010. Metode Narasi diyakini sebagai bentuk pewartaan iman paling efektif dan ”khas” untuk orang Asia. Keyakinan ini ditandaskan oleh Paus Yohanes Paulus II dalam dokumen Ecclesia in Asia pada tahun 1999.
Dalam suasana perayaan yang penuh dengan kekerabatan dan bukan merupakan bentuk refleksi akademis, SAGKI 2010 akan menjadi media yang tepat bagi 385 peserta yang terdiri dari para Uskup, Imam, Biarawan-Biarawati dan Umat yang berasal dari 37 Keuskupan di Indonesia untuk saling menarasikan kisah-kisah karya evangelisasi dan pastoralnya dalam konteks Indonesia. Beragam kisah ”Wajah Yesus”, baik dalam lingkup Gereja lokal, dalam keberagaman umat, dalam konteks sentra-sentra perkotaan, pelosok-pelosok pedesaan, maupun dalam situasi kelompok-kelompok sosial terstruktur maupun yang tercerai berai. Situasi kontekstual yang kompleks tersebut akan terangkum dalam 3 sub tema, yakni “Mencari Wajah Yesus dalam dialog dengan budaya” (hari pertama sesi narasi); “Mengenali Wajah Yesus dalam dialog dengan Agama dan Kepercayaan lain” (hari kedua sesi narasi) dan “Mengenali Wajah Yesus dalam Pergumulan Hidup Kaum Marjinal dan Terabaikan” (hari ketiga sesi narasi). Sungguh, tiga realitas Wajah Yesus itu sungguh dominan dalam situasi berbangsa dan bernegara kita dewasa ini. Ketiga realitas tersebut menjadi cermin dari situasi kehidupan sosio-budaya, kehidupan sosio religius dan kehidupan sosio ekonomi Indonesia. Oleh karena itu, wajah-wajah Yesus yang demikian jelas akan memperkaya cara beriman Gereja dan membangkitkan revitalisasi semangat misi Gereja Katolik Indonesia.
Selama sepekan ke depan, Gereja melalui SAGKI 2010 ini akan menjadikan kisah-kisah ”Wajah Yesus” yang disajikan dalam bentuk Narasi Publik maupun Narasi Kelompok, perayaan, doa-doa dan ibadat, Ekaristi, maupun Ekspresi Budaya sebagai sumber kekuatan dan bentara cinta serta damai Kristus di tengah-tengah berbagai prasangka sosial-politik, serangan teror, bencana alam dan bencana buatan manusia. dan dengan keyakinan bahwa melalui Dia, rekonsiliasi itu akan terjadi dan damai yang dirindukan itu akan tercapai.
Harapannya, revitalisasi semangat perutusan para peserta SAGKI 2010 selanjutnya disebarluaskan dan ditularkan ke Keuskupan mereka masing-masing, baik melalui tuturan mereka tentang apa yang mereka alami selama mengikuti SAGKI 2010 maupun melalui dokumen tertulis dan tak tertulis tentang SAGKI 2010. Kekayaan yang dihasilkan SAGKI 2010 diharapkan dimiliki dan dihayati Gereja Indonesia melalui kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan, antara lain, oleh komisi-komisi Gereja, baik di tingkat nasional (KWI) maupun di tingkat lokal (keuskupan-keuskupan).
Untuk keterangan lebih lanjut, silakan menghubungi:
Bapak Eddy Hidayat
(Koordinator Seksi Dokumentasidan Humas SAGKI 2010)


REPORTASE PELAKSANAAN
SIDANG AGUNG GEREJA KATOLIK INDONESIA

Hari Pertama
Hujan mengguyur kawasan Bogor sejak siang hari, 1 Nov 2o1o, ratusan peserta (terdaftar 5oo)mulai berdatangan di wisma Kinasih tempat berlangsungnya sidang.
Misa pembukaan dimulai pkl 16.3o dan terlihat meriah dengan pakaian adat yg dipakai oleh para peserta. Ini menunjukkan keberagaman. Dengan keberagaman tersebut, iman Katolik mampu menerobos sekat-sekat perbedaan bahasa, budaya dan karakter. Wajah Yesus dikenal dalam perbedaan-perbedaan cara berpakaian, adat dan perilaku umat. Misa dimeriahkan pula oleh koor siswa-siswi Regina Pacis.

Dalam rangkaian seremoni pembukaan, Bapak menteri agama, Suryadharma Ali mengingatkan agar masyarakat beragama tdk tersesat di jalan yg terang dan sering pula tersesat pula dalam kebebasan. Pemerintah mengharapkan agar gereja katolik terus berkomunikasi dan menjaga tatanan kebangsaan dan kerukunan umat beragama. Beliau juga mengatakan mengenai kebebasan mutlak yg tidak mungkin dimiliki oleh manusia karena hanya Tuhan yg memilikinya. Menurutnya, kebebasan tersebut perlu diatur sehingga tidak menimbulkan tirani minoritas dan dominasi mayoritas. Bapak menteri kembali mengungkapkan data bertumbuhnya tempat ibadat di Indonesia 1974-2oo4: masjid 64 persen, gereja Kristen 131 persen, Greja Katolik 153 persen, Hindu 368 persen dan Budha 475 persen.

Sedangkan nuntius, Mgr Leopoldo Girreli, dalam sambutannya menyampaikan salam hangat dari Paus Benediktus XVI. Nuntius menekankan pemahaman simbolis liturgi dalam gereja kita. Tata letak yg baik dalam melambangkan tahta, altar dan mimbar. Kerap kali ia mengunjungi berbagai keuskupan dan jarang ditemui imam yg berdoa brevir. Tindakan dan amal Gereja Katolik tampak dari 45o klinik kesehatan milik lembaga Katolik, 5265 sekolah dari TK sampai PT. Gereja yg melayani org miskin menampakkan ciri khas Yesus. Ditekankan pula nilai doa dalam Greja yang tidak boleh ditinggalkan. Di Indonesia, doa sebagai warisan spiritualitas Gereja diwakili oleh 8 pertapaan, sebagai tempat sepi utk berdoa seperti tempat yg dituju oleh Yesus Tuhan kita.

Demikian reportase singkat dari Wisma Kinasih.
Saat ini kami sedang mengikuti penjelasan proses sidang. Sidang dominan dengan metode narasi: sharing dalam kelompok dengan berkisah dan presentasi.

Handi pr

Hari kedua
Tema sidang hari ini adalah ''Mengenali Wajah Yesus di dalam keberagaman budaya''
Acara sidang hari ini diawali dengan 'keynote speech' dari Mgr Ign Suharyo, yg memberi pengantar tentang narasi sebagai sebuah metode.

Pewartaan dengan metode narasi lebih mengena daripada hanya menyampaikan rumusan. Paus Paulus VI dlm Imbauan Apostolik ttg Pewartaan Injil dlm Zaman Modern mengatakan: ''Manusia modern lebih senang mendengarkan kesaksian daripada para pengajar. Dan bila mereka mendengarkan para pengajar, hal itu disebabkan karena para pengajar tadi merupakan saksi2'' (No 41). Itulah sebabnya banyak orang senang dengan buku yg berisi tuturan kisah2 pengalaman pribadi yg menyentuh hati atau kisah2 jenaka yg mjd saluran utk mewariskan keutamaan2 atau nilai2 yg luhur dan mulia.

SAGKI 2o1o ini menggunakan metode narasi yaitu penuturan kisah2 pengalaman hidup yg dibaca dalam terang iman.

Mgr Suharyo menyampaikan bagaimana Injil dikisahkan dengan metode naratif. Pada awalnya, Injil itu bukan kisah melainkan berupa rumusan iman, contohnya dalam 1Kor 15:3-4: ''Kristus telah mati karena dosa2 kita, sesuai dengan Kitab Suci, bahwa Ia telah dikuburkan... Ia telah dibangkitkan...''.
Lama kelamaan, rumusan dalam 1Kor 15:3-4 ini menjadi kisah. Mengapa kisah? Karena kisah itu lebih menarik daripada rumusan. Contohnya saja adalah rumusan iman bahwa Yesus wafat. Peristiwa ini kemudian dikisahkan dengan panjang dan menarik karena sungguh2 dialami, ada pengalaman kasih yg besar.
Kisah atau narasi yg menarik minat pembaca ini mempunyai ciri2nya yakni: menyampaikan maksud tertentu dan dinamis. Kisah itu menyampaikan pesan2 tertentu dan bisa jadi peristiwa yg sama bisa dikatakan lain. Peristiwa yg sama bisa bertujuan lain. Contohnya adalah kisah mengenai anak yg hilang sebenarnya bertujuan utk menjelaskan siapakah Allah. Allah adalah maharahim maka judulnya sesuai tujuannya adalah Bapa yg baik dan pengampun.
Ada pula kisah yg bermaksud utk memberi peneguhan, misalnya kisah tentang penabur. Ini diceritakan ketika murid2 mulai berkecil hati dan butuh peneguhan. Saat itu murid2 mulai berkecil hati krn banyak org mengancam hidup Yesus, maka Yesus berusaha meneguhkan para murid bahwa biji yg mati akan menghasilkan buah.
Ciri kisah berikutnya adalah dinamis. Kisah itu bisa ditafsirkan secara tidak tetap sesuai dengan perkembangan jaman.
Itulah penjelasan tentang metode narasi yg mendapat contohnya dalam teks Kitab Suci.
Mgr Suharyo menghimbau agar kita pun melanjutkan Kisah Para Rasul yg berhenti sampai bab 28. Maka hendaklah ada Kisah bab 29 dst, artinya: kita mesti menulis kisah2 Injil dan ini harus berdaya guna. Kalau Yesus dulu dikisahkan lahir di kandang, sekarang ia harus lahir dalam hidup seseorang pada zaman ini. Untuk itu peserta diminta ber narasi, yaitu narasi mengenai pengalaman berbuat baik (dalam rangka evangelisasi dan misi), bukan sekedar cerita tentang ini itu tanpa mengandung unsur kontemplasi dan aksi nyata. Untuk itu, ''melahirkan Yesus kembali'' di jaman ini adalah salah satunya dengan berbuat baik. Dan perbuatan baik ini bisa dilakukan melalui relasi dengan kebudayaan, agama-kepercayaan lain dan realitas kemiskinan.

Mgr Suharyo menambahkan, bahwa kisah yg baik selalu dimulai dengan revelasi, dan setelah itu berakhir dengan revolusi. Berkat perjumpaan dengan Allah, kemudian ada niat untuk berubah dan membarui diri terus-menerus.
Setelah penyampaian pengantar tersebut, peserta sidang mendengarkan narasi tertunjuk dari keuskupan Sintang (Hendrika), Pangkalpinang (Maria Florida Bunga Makin) dan Bogor (Adi Kurdi). Kemudian peserta masuk dalam kelompok. Tiap2 peserta menyampaikan narasinya dalam kelompok sesuai dengan tema hari ini yaitu ''mengenali wajah Yesus di dalam keberagaman budaya''

Saat ini, peserta sedang mengikuti sidang pleno, mempresentasikan hasil sharing kelompok.

Tema narasi besok adalah ''Mengenali wajah Yesus dalam dialog dengan agama dan kepercayaan lain''.

Dari Wisma Kinasih Bogor,

Salam,
Handi s, pr

Hari Ketiga
Sedikit koreksi tentang reportase II yang saya buat kemarin, yakni pada bagian tambahan keterangan dari Mgr Suharyo: bahwa tiap narasi haruslah mengandung ‘revelasi’ dan ‘revolusi’. Ada satu yang belum tercatat yaitu resolusi. Jadi, tiap kisah atau narasi haruslah mengandung revelasi, resolusi dan revolusi. Revelasi itu sesuatu yang mencerahkan hati. Resolusi adalah sesuatu yang membawa ketetapan hati. Revolusi adalah hal yang membawa pada perubahan dan pembaruan diri.
Menarik untuk diketahui, bahwa pada SAGKI hari ke-2 (dan nantinya juga diadakan pada hari-hari berikutnya), Selasa, 2 November 2010, pukul 20.00, diadakan malam ekspresi budaya. Ekspresi budaya pada hari ke-2 ini menampilkan dua instrumen dan tarian akustik Sanggar Akar, asuhan IB Karyanto. Instrumen tiga biola dan dua dunga ditampilkan secara ciamik. IB Karyanto membawa 30 anak usia SMP dan SMA dari sekolah otonom yang dikelola oleh Sanggar anak-anak pinggiran ini.
Drama keuskupan Agung Medan menampilkan budaya suku Karo yang masih mempercayai dukun dan mengahalalkan segala cara dalam mencari kekayaan dan relasi dualisme. Keuskupan Sibolga membawakan lagu dan tari yang sangat energik, bahkan uskup Sibolga dan Uskup Agung Medan turut serta menari dengan rian. Adi Kurdi, yang menjadi MC ekspresi budaya ini berkomentar bahwa mungkin tarian energik ini perlu ditiru untuk evangelisasi. Sebagai penutup, sanggar Akar menampilkan tarian energik yang diiringi dengan musik perkusi yang alat-alatnya terbuat dari gelas-gelas plastik, botol, dll.
Pada hari ke-3, Rabu 3 November 2010, peserta menggulati tema: “Mengenali Wajah Yesus dalam Dialog dengan Agama dan Kepercayaan Lain”
Narasi tertunjuk (narasi publik) pada tema dialog ini ditampilkan oleh tiga narator yakni: Budayawan Mohammad Sobary, Tokoh Buddhist Sri Pannyavaro Mahathera dan tokoh aliran kepercayaan Marapu Sumba, Bapak Ngo Ngopadi. Mereka diminta narasi/cerita-nya terkait dengan pengetahuan, relasi, persaudaraan, kesan dan pesan mereka terhadap umat Katolik.
Kang Sobary, yang menyukai novel berjudul Quo Vadis dan berjudul Sidharta ini begitu kagum dengan tokoh Yesus dan Paulus. Ada kesan bahwa Kang Sobary mau terbuka untuk tahu dan memahami siapa Yesus dan Paulus itu. Selebihnya, Kang Sobary amat kagum dengan Romo Mangun karena Romo Mangun sungguh2 orang yang bicara soal kerohanian walaupun mungkin dia mengerti politik. Yang amat menarik lagi seperti dikatakan Kang Sobary, konsep agama Romo Mangun itu sungguh berciri antroposentrik. Ia kagum ketika Romo Mangun mengatakan: “Janganlah kamu berusaha membuat senang Tuhan dengan meminta maaf karena Tuhan sudah memberi maaf sebelum manusia meminta maaf. Untuk itu berusahalah membuat menusia menjadi senang, karena itu tentu membuat senang Tuhan. Jadi, senangkanlah manusia untuk membuat Tuhan senang.” Kang Sobary juga mengagumi tokoh2 yang mau keluar dari pikiran yang sudah mapan. Salah satu pesan Kang Sobary adalah bahwa menjadi orang Katolik tidak perlu terlalu terluka batinnya lantaran hidup sebagai minoritas. Umat Katolik diharapkan yakin untuk bisa mengobati lukanya sendiri. Ia juga mengatakan bahwa menjadi orang Katolik haruslah bangga.
Mahathera mengungkapkan pengalaman persaudaraannya dengan rekan-rekan Katolik. Yang mengesan adalah ketika ia bekerjasama dengan Puskat Sinduarjo dalam pembuatan film Borobudur, yang menampilkan nilai-nilai universal tanpa embel-embel pesan Kekatolikan dan Budhis. Banyak peristiwa yang membuat Mahathera berelasi enak dengan teman-teman Katolik misalnya live in para fater/seminaris di vihara Mendut, penulis Katolik yang datang, relasi dengan Romo Beny Susetyo yang aktif di Komisi HAK dan peserta retret budhis yang kebanyakan katolik. Bicara soal kesan terhadap umat Katolik, Mahathera mengatakan bahwa umat Katolik adalah umat pembelajar, santun, tepat waktu, dan menghargai budaya lokal. Ia mengungkapkan bahwa umat Budha musti belajar dari umat Katolik dalam karya sosialnya.
Bapak Ngo Ngopadi mengungkapkan pula pengalamannya dalam berelasi dengan umat Katolik. Bpk Ngo Ngopadi adalah penganut agama asli Marapu di Sumba. Dia adalah pemimpin suku dan imam agung para Marapu. Agama asli Marapu merupakan kepercayaan yang memuja nenek moyang dan leluhur. Lebih dari setengah penduduk Sumba memeluk agama ini. Mereka percaya bahwa kehidupan di dunia ini hanya sementara dan bahwa setelah akhir jaman mereka akan hidup kekal, di dunia roh, di surga Marapu, yang dikenal sebagai Prai Marapu. Altar megalik dan batu kuburan keramat yang menghias setiap jantung kempung dandusun Sumba timur adalah bukti akan adanya kepercayaan asli itu. Relasinya dengan umat Katolik sangat baik. Dengan polosnya ia berkomentar penuh percaya diri: “Saya adalah orang buta huruf satu-satunya yang berdiri di depan anda semua.” Bagi Bapak Ngo Ngopadi, ada beberapa kemiripan dalam ajaran antara Marapu dan Katolik maka tidak mengherankan bahwa mereka dapat hidup berdampingan dengan baik.
Seperti biasa, setelah narasi publik, peserta masuk ke dalam kelompoknya masing-masing untuk bernarasi. Acara proses narasi di kelompok ini berakhir pukul 13.00 lalu dilanjutkan dengan makan siang dan istirahat.
Lalu sore hari pukul 15.30 diadakan pleno atas narasi kelompok. Pleno narasi yg bertema “mengenali Yesus dalam dialog dengan agama/kepercayaan lain” ini kemudian dibundheli dengan refleksi teologis oleh Rm. Raymundus I Made Sudhiarsa SVD. Di akhir ulasan teologisnya mengenai dialog, Rm Ray mengungkapkan poin-poin untuk ditindaklanjuti, yakni: 1) Kita perlu melanjutkan segala aktifitas dalam membangun relasi umat beragama. 2) Kita perlu mengembangkan spiritualitas dialog- mau rendah hati dan punya semangat berkorban. 3) Sejalan dengan Paus Yohanes Paulus II, kita perlu menggiatkan ‘pewartaaan melalui kesaksian hidup’. 4) Kita semakin menyadari, bahwa dengan dialog, iman kita semakin diteguhkan.
Malam setelah makan, peserta kembali memasuki acara Ekspresi Budaya pada pukul 20.00. Semua peserta, tanpa kecuali para bapa uskup “digoyang” dengan tarian poco2 dan menyanyi bersama. Pengekspresi malam ini adalah peserta dari Keuskupan Bandung dan Keuskupan Agung Semarang. Keuskupan Bandung menampilkan drama “Si Kabayan dan Ikan Beragama”. Pada bagian akhir drama, peserta Keuskupan Bandung mengajak menyanyikan lagu Satu Nusa Satu Bangsa dengan iringan angklung. Sedangkan Keuskupan Agung Semarang menampilkan slaka (slawatan Katolik). Rm Nurwidi, Pr menjelaskan bahwa Slaka merupakan musik pewartaan yang dahulu digunakan oleh katekis cikal bakal Keuskupan Agung Semarang. Seluruh peserta dibuat riang gembira karena dapat mengikuti nyanyian “Mangga-mangga Ndherek Gusti” dengan iringan musik slaka ini.
Acara sidang hari ini ditutup dengan doa penutup di mana peserta diajak untuk hening karena baru saja ada kabar bahwa merapi meletus lagi…
Demikian reportase SAGKI hari ke-3
handi s, pr

Hari Keempat
Tema bahasan pada SAGKI hari ke-4 adalah “Mengenali Wajah Yesus dalam pergumulan hidup kaum marjinal dan terabaikan”
Narator tertunjuk untuk pengolahan tema hari ini adalah: Benediktus Gimin Setyo Utomo (KAS), RD. John Bunay (Jayapura) dan Maria Mediatrix Mali (Maumere).
Dari keluarganya yang non katolik, Mas Gimin tumbuh menjadi individu yang keras di mana ia sering bermasalah dengan orang-orang yang mencerca keluarganya. Bahkan ia pernah bermasalah dengan orang tuanya. Ia pernah mengalami masa kelam dengan menjadi seorang penjembret. Perkenalannya dengan Yesus diawali oleh kakaknya yang mengajak dia mengikuti agama katolik. Pertengkarannya dengan orang tuanya juga yang menjadi awal ia serius untuk mengenal Yesus. Dalam pertengkaran itu, ia pernah ingin membunuh orangtuanya. Namun orangtuanya meletakkan kepalanya di dadanya saat ia menghunus golok karena emosi. Orang tuanya hanya mengatakan: “Kalau itu memang baik dilakukan, lakukan saja!” Pada saat itu Mas Gimin merasa seperti habis kekuatannya dan mulai tersadar. Mas Gimin dalam pengalaman pengenalannya pada Yesus, juga selalu mengingat pesan ibunya kepada kakaknya: “sabarlah dalam mengasuh Gimin”.
Saat ini Mas Gimin bekerja sebagai petani di Sumber Magelang. Ia dan istrinya juga menjadi buruh tani dan beternak sapi hasil pinjaman dari program Keuskupan Semarang untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Menurutnya, menjadi petani itu tragis karena petani itu selalu dipandang rendah. Ia mencoba mengajarkan kesederhanaan dalam keluarga, selain itu, ia juga merasa perlu bertindak dan aktif seabgai umat Katolik. Sampai sekarang juga aktif dalam Lembaga Pendampingan Usha Buruh Tani dan Nelayan (LPUBTN).

Romo John Bunay Pr adalah pejuang kaum ibu rumah tangga yang tidak mendapatkan tempat berjualan hasil kebun di tempat yang layak. Seperti diketahui, di Papua para mama mempunyai tradisi untuk menjual hasil bumi yang sebelumnya ditanam, sedangkan kaum laki-laki bekerja membuka kebun dan pengerjaannya. Ini berarti, mama-mama Papua mempunyai peran besar dalam ekonomi rumah tangga. Rm John Bunay Pr menyuarakan aspirasinya kepada pemprov dalam RAPBD dan sampai saat ini sudah ditetapkan rencana lokasi pasar tradisional di Jayapura. Bahkan ia juga sudah memasukkan unsur keberpihakan kepada rakyat kecil dalam setiap kotbah dan acara televisi lokal agar terbentuk persepsi mengenai keberpihakan itu.
Maria Mediatrix Mali adalah pejuang karya karitatif dari Maumere. Kini ia berjuang di yayasan sosial pembangunan Masyarakat di Maumere. Ia sudah menolong operasi bibir sumbing untuk 80 anak dalam dua tahun ini. Operasi ini mendatangkan dokter dari Jerman yang bekerja sama dengan depkes. Ia pun membentuk tim “buru sergap” untuk memerangi nyamuk penyebab malaria di tanah Maumere dengan melibatkan seratus orang lebih. Perbaikan gizi buruk, pemulihan dan penyuluhan tentang gizi menjadi sepak terjang Maria Mediatrix Mali. Sudah hampir 21 tahun ia menggeluti urusan anak-anak yang tersingkir. Awalnya ia mengurusi anak-anak di jalanan di daerah Cawang. Lalu ia merintis sekolah anak-anak miskin di Cimanggis Bogor selama 10 tahun. Sampai saat ini, sekolah Maria di Cimanggis ini tetap berdiri dengan TK, SD, SMP. Lalu pada tahun 1999, ia berpindah ke Maumere untuk bergabung dengan Yaspem, memerangi gizi buruk dan membantu anak-anak cacat dari keluarga tidak mampu.
Refleksi teologis atas narasi tertunjuk dan narasi dalam kelompok disampaikan oleh Rm William Chang. Poin-poin yang disampaikan adalah:
Gereja mengakui bahwa proses pemiskinan manusia merupakan pencideraan terhadap citra Allah yang luhur (Kej 1:26-27). Hidup dalam kemiskinan adalah hidup dalam keadaan serba terbatas. Upaya pemulihan dan pengangkatan martabat manusia dilakukan dengan memperjuangkan hak2 dasar orang miskin.
Gereja memandang bahwa pribadi si miskin menjadi “pewahyu” wajah Yesus yang sedang menderita, yang terluka, tabah, menangis, karena Yesus hadir dalam diri mreka yang miskin, menderita, tertekan dan susah (Mat 25).
Meneladani Yesus, Sang Pembebas, Penolong, dan Pembawa harapan, Gereja bersolider dengan orang miskin. Solidaritas itu dinyatakan melalui keberpihakan dan pemberdayaan orang miskin, tindakan berbagi serta keterlibatan secara aktif dalam memperbaiki struktur/sistem yang tidak adil.
Untuk itu, Gereja perlu menghidupi spiritualitas yang memerdekakan orang dari cengkeraman kemiskinan dan peminggrian. Perlu pertobatan nyata dalam tindakan. Gereja juga semakin menegaskan komitmennya untuk pengembangan pastoran pertanian, nelayan dan kelompok terpinggirkan.
Lalu, malam menjelang diadakannya ekspresi budaya, peserta diajak untuk melihat Draf I Rangkuman SAGKI 2010. Acara ini dipandu oleh Mgr Pujasumarta dan Rm Eddy Kristiyanto OFM. Banyak peserta yang antusias bertanya, usul, dan menyarankan isi rangkuman Draft I SAGKI tersebut.
Tim perumus yang diketuai oleh Rm Eddy Kristiyanto OFM ini, selain akan merampungkan Draft rangkuman SAGKI, juga akan membukukan narasi-narasi yang telah terkumpul.
Acara ekspresi budaya diisi oleh Sanggar Akar, Regio Kalimantan, Keuskupan Makasar, Keuskupan Atambua dan Keuskupan Jayapura.
Demikanlah reportase SAGKI IV, Tuhan memberkati…
handi s, pr


Teman-teman Ytk.,
Kisah tentang Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia (SAGKI) 2010 telah saya tuturkan kepada Anda semua melalui jejaring dunia maya dalam weblog Multiply saya. Kisah itu secara otomatis disebarluaskan melalui jejaring FB.
Selama SAGKI 2010 secara sangat mengesankan saya mengalami MENJADI INDONESIA. Dan untuk menjadi Indonesia dialog adalah cara cerdas berkomunikasi antar warga Indonesia. Begitu banyak kisah dituturkan, sehingga tidak mampu saya mengutarakan semua tuturan di sini. Dari SAGKI 2010 ada dokumen tertulis. Namun, lebih dari itu ada dokumen yang tidak tertulis yang tersimpan dalam hati kami para peserta SAGKI 2010, yang dapat kami tuturkan secara berdaya bila kami jadikan hidup kami.
Saya bersyukur kepada Tuhan menjadi bagian dari Indonesia ini. Saya bangga menjadi Indonesia.
Bandung, 6 November 2010
+ Johannes Pujasumarta
Uskup Keuskupan Bandung

Tidak ada komentar:

Posting Komentar