Selasa, 02 November 2010

MENJADI PEDULI BAGI YANG LAIN

Fr.Frans Hardjosetiko, BHK

“Sebagai pengurus yang baik kita akan mengabdikan anugerah-anugerah Allah secara tepat guna
kepada perutusan kita demi keselamatan manusia dengan perhatian khusus untuk
mereka yang paling membutuhkan” (Konstitusi art.15)

Membaca cuplikan dari artikel 15 konstitusi tarekat, saya teringat akan sabda Yesus sendiri: “ Janganlah kamu mengumpulkan harta di bumi; di bumi ngengat dan karat merusakkannya dan pencuri membongkar serta mencurinya. Tetapi kumpulkanlah bagimu harta di sorga.”
Mamon adalah dewa uang. Yesus mengingatkan kita, apabila kita menghambakan diri kepada dewa ini kita akan kehilangan kesempatan untuk memasuki tawaran keselamatan abadi yang dijanjikan Allah kepada kita. Apabila kita mengikatkan hati kita sedemikian eratnya pada harta dunia yang fana ini, hidup kita akan menuju pada kebinasaan abadi.
Beriman adalah soal memilih, bukan soal membagi. Memilih untuk mengikuti teladan hidup Yesus berarti mengarahkan seluruh pandangan kita kepada Bapa dan memercayakan diri kita di dalam bimbingan-Nya. Inilah yang membuat kita memperoleh keselamatan abadi.
Memang materi kita butuhkan dalam hidup kita. Tetapi siapa yang percaya kepada Yesus tidak akan gelisah terhadap apa yang akan kita makan pada hari ini atau terhadap segala hal yang kita butuhkan. Ada hal yang lebih penting yang harus kita lakukan sebagai pengikut Yesus: kasih kepada Allah, kasih kepada sesama dan kasih kepada diri sendiri. Ketiga hal ini tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Siapakah sesamaku? Mereka bukanlah cuma orang-orang sebangsaku, atau sukuku, atau keluargaku, atau teman dekatku. Sesamaku adalah semua orang terutama mereka yang paling membutuhkan uluran tangan kasihku.

Salah satu dimensi penting dalam filsafat adalah dimensi eksistensial. Dimensi ini mengajak kita untuk selalu keluar dari egoisme diri dan lebih memberi perhatian kepada orang-orang yang ada di sekeliling kita. Mengembangkan semangat egoisme memang akan menyenangkan kita selama kita hidup di dunia fana ini. Masalahnya hidup kita tidak hanya berhenti pada kefanaan hidup ini. Hidup abadi, itulah tujuan hidup kita. Kita semua berkeinginan untuk masuk surga. Ini baik. Tetapi “lebih mudah seekor unta masuk melalui lobang jarum daripada seorang kaya masuk ke dalam Kerajaan Allah” (Mat 19:24). Itu dikatakan Yesus kepada orang muda kaya itu. Ia sudah melakukan semua perintah Taurat, tetapi hatinya begitu lekat pada harta dunianya. Ia berhamba pada Mamon. Ia hendak menjadi sempurna tetapi tidak bisa karena ia memiliki keterlekatan yang sangat kuat kepada kefanaan dunia. Egoisme diri begitu kuat sehingga ia tidak ingin berbagi hartanya dengan orang-orang miskin. Inilah sebuah ironisme.
Permenungan saya ini berangkat dari suatu kesadaran bahwa saya tidak tahu berapa lama saya masih akan hidup di dunia fana ini. Suatu pertanyaan yang selalu menggelitik saya terutama setelah saya melewati usia 50 tahun ini: kapankah saat itu akan tiba? Pertobatan harus menjadi bagian dari hidup saya. Saya bersyukur bahwa saya masih bisa menghirup nafas hingga usia saya yang ke sekian ini. Begitu banyak orang muda sudah harus menghadap kepada Sang Pencipta. Entah dengan cara apa pun. Mereka yang divonis sakit yang mematikan dapat mempersiapkan diri. Tetapi bagaimana dengan mereka yang meninggal karena kecelakaan? Berbuat banyak kebaikan kepada orang lain, memiliki kepedulian kepada orang lain terutama mereka yang sangat membutuhkan kehadiran saya itulah yang menjadi prioritas hidup saya sekarang. Tidak ada minat sedikit pun untuk mengumpulkan harta benda (apalagi jika diperoleh dengan jalan yang tidak benar). Semua itu suatu saat akan saya tinggalkan. Tidak akan ada yang bisa saya bawa. Bahkan saya harus mempertanggungjawabkan segala perbuatan saya kepada Pencipta saya selama saya hidup di dunia ini. Inilah bagian dari iman kita. Inilah konsekuensi dari memilih Allah sabagai Tuan yang saya abdi dengan penuh kebebasan.
Jika saya membuka permenungan saya ini dengan mengutip bagian dari konstitusi tarekat, maka saya pun akan menutup permenungan saya ini dengan mengutip bagian dari konstitusi tarekat: “Yesus dipenuhi oleh Bapa-Nya dan mendapatkan di dalam-Nya seluruh kekayaan-Nya. Kemiskinan Yesus terkandung dalam ketidak-terikatan-Nya kepada segala sesuatu yang dapat merugikan kesatuan-Nya dengan Bapa.” (Konstitusi art.30). Menjadi peduli kepada yang lain berarti menjadikan diri lepas bebas tidak terikat kepada harta duniawi. “Karena di mana hartamu berada, di situ juga hatimu berada” (Mat 6:21).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar