Senin, 04 Oktober 2010

Maria Prototipe Iman Kita

Oleh Fr. Patricius BHK
ILUSTRASI
Bunda Hati Kudus
Pada suatu kesempatan pertemuan pendalaman iman, seorang ibu yang menikah pada umur 16 tahun pernah bernostalgia begini. Dulu, waktu saya mengandung anak pertama, hidup saya amat menderita. Sewaktu melahirkannya, saya mempertaruhkan nyawa, antara mati atau hidup. Cukup lama saya pingsan dan tak sadarkan diri. Anggota keluarga dan tetangga – tetangga dekatku turut merasakan penderitaan itu. Banyak di antara mereka yang menangis, karena prihatin dengan kondisi kesehatan saya yang sudah tak punya harapan lagi untuk hidup. Berbeda dengan anak yang kedua. Sewaktu mengandung, kondisi kesehatan saya cukup baik, sehingga sewaktu melahirkannya semua berjalan lancar dan aman.
Kedua pengalaman ini ternyata menunjukan nasib dan masa depan mereka berdua. Anak pertama yang begitu susah dan merepotkan orang tua sewaktu mengandung dan melahirkan, ternyata setelah dewasa, kepribadiannya sangat baik dan ia mempunyai perhatian terhadap orang tua. Kami sangat bangga dengan kehadirannya. Sedangkan anak yang kedua, justeru sebaliknya. Ia suka melawan perintah orang tua, keras kepala, mabuk – mabukan, sering
bertengkar dan berkelahi dengan teman – teman sebayanya, malas bekerja, malas ke gereja, malas belajar, dan prestasinya di sekolah sangat jelek. Padahal, dia terhitung anak yang mempunyai IQ di atas rata – rata di sekolahnya.
Sebagai orang tua, kami menyadari bahwa kehadiran keduanya dalam keluarga memang sangat unik dan luar biasa. Tugas dan tanggung jawab untuk membimbing dan mendampingi mereka pun tentu tidaklah mudah. Terutama ketika kami harus berhadapan dengan persoalan hidup yang dialami anak yang kedua. Kami dituntut untuk bersikap sabar, bijaksana, rendah hati, selalu siap melayani, dan berusaha untuk menciptakan komunikasi yang baik antara yang satu dan yang lainnya.
Semuanya itu kami lalui dengan penuh perjuangan, tanpa kenal lelah. Berkat kesabaran, kesetiaan dan keteguhan iman yang kami yakini dari hari kehari, semua persoalan boleh kami lewati satu persatu. Kami menyadari bahwa campur tangan Tuhan dalam pelbagai pengalaman yang telah kami lalui memang sungguh luar biasa. Dia tidak membiarkan kami terlarut dalam pelbagai tantangan itu. Kami pun sangat bersyukur karena segala usaha dan perjuangan kami pada akhirnya berhasil dengan baik dan kini kedua anak kami telah menjadi dewasa, mandiri dan hidup berkecukupan. Anak pertama telah menjadi seorang PNS dan bekerja disebuah lembaga pemerintahan daerah, dan anak kedua akhirnya menjadi seorang imam yang baik disebuah tarekat religius. Dan seterusnya...

REFLEKSI
Dari sharing pengalaman di atas, sebuah pertanyaan muncul dihadapan kita. Manakah yang lebih baik, anak yang pertama atau anak yang kedua? Kalau kita harus memilih salah satu diantara keduanya, adakah alasan yang memperkuat pernyataan dan jawaban tersebut? Lalu, dimanakah peranan seorang ibu ketika kedua anak tersebut hadir di tengah – tengah keluarga dengan watak dan kepribadiannya yang berbeda – beda itu?
Ketiga pertanyaan ini sesungguhnya menantang kita untuk berpikir dan merenungkan secara cermat mengenai tugas dan tanggung jawab kita, entah itu sebagai orang tua, sebagai seorang anak, dan terutama sebagai pengikut Kristus. Pertanyaan yang sama juga menghantar kita kepada suatu refleksi dan permenungan mengenai peranan Maria dalam sejarah keselamatan Allah. Berkaitan dengan tema pokok di atas, kita juga diajak untuk melihat iman Maria yang kokoh kuat dalam menanggapi firman Allah, ”sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan, jadilah padaku menurut perkataanMu itu” (Luk. 1:38. Sebuah jawaban yang lahir dan tumbuh dari sebuah pergulatan iman yang mendalam.

BELAJAR DARI IMAN MARIA
Bila seorang ibu yang megandung anak dari hasil keinginan daging manusia bisa merasakan dan meramalkan masa depan anak - anaknya yang masih dalam kandungannya, apalagi Maria yang mengandung dari Roh Kudus. Dalam jangka waktu yang cukup lama ia mengandung Putera Allah. Dalam proses perkandungan dan kelahirannya, Maria tahu persis kekuatan Allah yang menggetarkan jiwanya. Maria tahu kekuatan Allah yang menyertai setiap derap langkahnya. Kepekaan hati dalam mendengar dan merasakan kehadiran Roh Kudus yang hidup dalam rahimnya sungguh – sugguh dirasakannya sebagai suatu kekuatan yang luar biasa, yang melampaui alam pikiran manusia. Maria tahu dengan pasti akan kehendak Allah yang membimbing dan yang mencurahkan Roh kekuatanNya. ”Jangan takut hai Maria, sebab engkau beroleh kasih karunia di hadapan Allah. Sesungguhnya engkau akan mengandung dan akan melahirkan seorang anak laki – laki dan hendaklah engkau menamai Dia Yesus. Ia akan menjadi besar dan akan disebut Anak Allah yang mahatinggi” (Luk. 1: 30b-32a).
Iman Maria sesungguhnya terletak pada sikap dan tindakannya dalam menanggapai setiap firman yang keluar dari mulut Allah. Kesetiaannya dalam menjalankan perintah Tuhan, telah membuktikan kalau kehadirannya di tengah pergulatan dunia hanya demi Dia yang dipanggil dan diutusNya. Ia melaksanakan perintah Tuhan, ”Non mea sed tua voluntas” (bukan kehendakku, tetapi kehendakMu).
Iman dan kesetiannya berpihak pada kebenaran dan kekuatan Roh Allah. Maka, selama mengandung dari Roh Kudus, ia hanya berpasrah pada Tuhan dan melaksanakan apa yang telah disabdakanNya, ”fiat voluntas tua”, jadilah kehendakMu. Ia pun mewartakan suka cita kekal kepada Elisabeth saudaranya, sehingga ketika Elisabeth mendengar salam Maria, melonjaklah anak yang didalam rahimnya dan Elisabeth pun penuh dengan Roh Kudus.
Kata – kata Maria memang mempunyai kekuatan kuasa dan mempunyai tanda – tanda yang mengalahkan tantangan. Memiliki jiwa dan Roh yang hidup. Kepekaan, keteladanan dan kesetiaannya diajarkan oleh kebenaran sejati yang bersumber dari Dia yang menyertai kehidupannya. Kesetiaannya diajarkan oleh bisikan Roh Allah dalam rahimnya. Maria belajar mendengarkan Roh Allah itu, terutama pada saat ia harus menghadapi tantangan berat yang mengiringi pergulatan imannya. Kesetiaan imannya berasal dari apa yang tidak pernah dilihat oleh mata manusia dan tidak pernah didengar oleh terlinga, dan tidak pernah timbul dari hati manusia. Kesetiaannya diuji, dinilai dan dibedakan oleh Roh itu sendiri. Ia taat dan setia pada kehendak Allah. Di dalam lubuk hatinya yang terdalam terdapat kasih Allah yang melampaui segala – galanya, yang mengasihi dan mencintai semua anak – anak Allah. Ia menjadi ibu bagi semua orang
Kepekaan, keteladanan dan kesetiaan Maria memang bukan hanya sekedar setia kawan, tetapi setia kepada kebenaran, setia kepada kebaikan, setia kepada kehendak Allah, peka terhadap segala sesuatu yang baik dan benar dan dapat menjadi teladan kehidupan bagi yang lain. Seperti Maria yang taat dan setia kepada kehendak Allah, kita pun diajak untuk meneladaninya. Sebagai anak – anak Allah, kita perlu belajar dari kesetiaan dan keteladanan iman Maria ini, ”Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan, jadilah padaku menurut perkataanMu itu” (Luk. 1:38). Imannya yang kokoh kuat kiranya menghantar kita juga kepada pengalaman akan Allah. Semoga!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar